Pertunjukan kesenian daerah ‘kalah’ bersaing dengan kesenian yang mengusung budaya pop yang berkiblat dari budaya global. Sebagian besar masyarakat tunduk kepada para pemilik modal yang menggiring selera masyarakat kepada pertunjukan lain yang lebih ‘menjual’, yang membuat penonton merasa tidak ketinggalan jaman dan menjadi bagian dari masyarakat global.
_______________________________________________________________
Pertunjukan kesenian daerah yang dulunya diminati oleh segala usia kini hanya diminati oleh orang-orang yang kebanyakan berusia lanjut. Hanya segelintir saja orang yang berminat pada kesenian daerah, yang sebenarnya adalah kekayaan milik mereka sendiri. Realitas yang terjadi adalah munculnya anggapan-anggapan negatif yang mengatakan bahwa kesenian daerah itu kuno, membosankan, dan tidak berkembang.
Media, yang mempunyai tugas mendidik masyarakat, ternyata juga tidak memberi kontribusi penting bagi pengembangan kesenian daerah. Hanya satu dari belasan stasiun televisi di Indonesia yang mengadakan program kesenian daerah, itupun pada jam-jam di luar prime time. Target penontonnya pun bisa ditebak, orang-orang berusia lanjut yang memang tidak bisa menikmati acara-acara hiburan yang makin menimbulkan kontroversi akhir-akhir ini.
Regenerasi adalah problematika yang dialami oleh hampir semua kesenian daerah. Hal ini terungkap jelas dalam film dokumenter berjudul “Panggung Kasetyan Balekambang” garapan Fajar Nugroho dan B. W. Purba Negara. Di dalam film tersebut divisualisasikan bagaimana perjuangan para pemain kethoprak di daerah Balekambang (Surakarta) untuk tetap bertahan hidup. Kelompok kethoprak Balekambang adalah kelompok yang mandiri, biaya operasional ditanggung oleh para pemain dengan pemasukan yang tidak seberapa. Di kalangan pemain tidak ada orang berusia muda, tidak berbeda dengan penontonnya.