28 December 2010

Kethoprak di Ujung Jalan

Pertunjukan kesenian daerah ‘kalah’ bersaing dengan kesenian yang mengusung budaya pop yang berkiblat dari budaya global. Sebagian besar masyarakat tunduk kepada para pemilik modal yang menggiring selera masyarakat kepada pertunjukan lain yang lebih ‘menjual’, yang membuat penonton merasa tidak ketinggalan jaman dan menjadi bagian dari masyarakat global.

_______________________________________________________________

Pertunjukan kesenian daerah yang dulunya diminati oleh segala usia kini hanya diminati oleh orang-orang yang kebanyakan berusia lanjut. Hanya segelintir saja orang yang berminat pada kesenian daerah, yang sebenarnya adalah kekayaan milik mereka sendiri. Realitas yang terjadi adalah munculnya anggapan-anggapan negatif yang mengatakan bahwa kesenian daerah itu kuno, membosankan, dan tidak berkembang.

Media, yang mempunyai tugas mendidik masyarakat, ternyata juga tidak memberi kontribusi penting bagi pengembangan kesenian daerah. Hanya satu dari belasan stasiun televisi di Indonesia yang mengadakan program kesenian daerah, itupun pada jam-jam di luar prime time. Target penontonnya pun bisa ditebak, orang-orang berusia lanjut yang memang tidak bisa menikmati acara-acara hiburan yang makin menimbulkan kontroversi akhir-akhir ini.

Regenerasi adalah problematika yang dialami oleh hampir semua kesenian daerah. Hal ini terungkap jelas dalam film dokumenter berjudul “Panggung Kasetyan Balekambang” garapan Fajar Nugroho dan B. W. Purba Negara. Di dalam film tersebut divisualisasikan bagaimana perjuangan para pemain kethoprak di daerah Balekambang (Surakarta) untuk tetap bertahan hidup. Kelompok kethoprak Balekambang adalah kelompok yang mandiri, biaya operasional ditanggung oleh para pemain dengan pemasukan yang tidak seberapa. Di kalangan pemain tidak ada orang berusia muda, tidak berbeda dengan penontonnya.

Generasi Muda di Radio Komunitas

Anak muda memang bagian dari struktur masyarakat yang penuh dengan kontroversi. Banyak dari kalangan masyarakat yang memandang bahwa kaum muda saat ini hanya bisa menikmati hasil perjuangan orang-orang terdahulu. Namun beberapa informasi di bawah mengindikasikan hal yang berbeda. Banyak anak muda di Yogyakarta yang mau berjuang demi sesuatu, contohnya adalah anak muda yang berada di balik nama radio komunitas.

______________________________________________________________

Yogyakarta, yang dikenal dengan sebutan kota pelajar dengan banyaknya perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, sarat dengan anak muda yang mempunyai semangat untuk memperjuangkan sesuatu yang mereka anggap baik. Perjuangan mereka diwujudkan dalam berbagai bidang, salah satunya adalah melalui radio-radio komunitas.

Secara umum, radio komunitas mempunyai konsep awal untuk menjembatani orang-orang yang berada pada komunitas tertentu. Komunitas yang biasanya berisi para kaum muda ini  membutuhkan suatu “wadah” yang memungkinkan mereka untuk berbagi informasi sekaligus mencari hiburan di dalam komunitas itu sendiri.

 Ketika ditilik menggunakan teori-teori kritis, bisa jadi radio komunitas merupakan salah satu wujud perlawanan. Hal yang dilawan adalah bombardir informasi dari radio-radio mainstream yang seringkali memberikan informasi yang tidak semua relevan bagi suatu komunitas. Perlawanan tidak selalu bersifat frontal, namun bisa juga dengan menciptakan alternatif baru.

23 December 2010

Bertahan di Tubuh Pria


Dengan jilbab hitam dan terusan biru, “wanita” itu berbicara mengenai banyak hal. Dua AC model lawas di bagian atas ruangan seakan mengawasi beberapa orang akademisi di sekelilingnya yang mencoba menganalisis fenomena sosial yang diceritakan langsung oleh pelaku fenomena tersebut. Dialah Mami Vinolia: Direktur LSM Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta).
______________________________________________________________________

“Saya pernah dipukul pakai kayu sampai pingsan, biar saya jadi laki-laki beneran. Tapi ya tetep aja kayak gini, nggak bisa dipaksakan..” salah satu cerita yang diungkapkan Mami dalam salah satu diskusi di kampus Magister Administrasi Publik UGM hari Rabu (15/12) ini.

Kata-kata yang diluncurkan dengan lembut ini sering memunculkan ekspresi senyum simpatik dan kekaguman, namun tidak jarang menimbulkan senyum tertahan yang tidak bisa ditebak apa ekspresi yang sebenarnya.

Terus terang, saya belum bisa sepenuhnya menerima keadaan mereka. Pemikiran saya seringkali masih mengutub: yen lanang ya lanang, ora usah medoki ! (kira-kira artinya: kalau anda laki-laki berperilakulah seperti laki-laki, jangan berperilaku seperti perempuan)

Namun dari beberapa diskusi di kampus (Ilmu Komunikasi FISIP UAJY) saya mulai sedikit demi sedikit memahami teman-teman waria – meski sekali lagi, saya belum bisa sepenuhnya menerima keadaan mereka.
Setidaknya mereka adalah juga manusia. Saya, anda, dan mereka sama-sama tumbuh dari rahim wanita dan keluar dalam keadaan telanjang, sejauh ini kita tidak berbeda. Perbedaan muncul dalam proses pencarian jati diri mereka.

Pencarian jati diri bukan hal yang mudah. Jangankan jati diri dalam seorang waria, dalam seorang remaja yang ‘normal’ saja sering terbentur hambatan. Seperti yang diungkapkan Mami, ”Biasanya teman-teman waria mengalami tiga macam konflik. Konflik dengan diri sendiri, konflik dengan keluarga, dan konflik dengan ‘pacar’nya…”

Sekelumit Realitas dari Sidoakur

Cerita ini diawali ketika beberapa kawan melakukan penelitian di Desa Wisata Sidoakur yang terletak di Jalan Godean. Akhirnya saya ngikut, sekalian isi waktu.

 

Perjalanan yang dimulai dari kawasan Kotabaru berakhir di rumah Mas Andi di lokasi penelitian. Kami berbincang tidak lama, cukup untuk mencari tahu gambaran umum desa dengan title wisata ini. Kemudian kami diantar ke rumah seorang bapak yang giat membuat pupuk organik.

Bapak ini membuat pupuk menggunakan beberapa alat. Salah satu alatnya adalah drum bekas di atas. Meski bertuliskan “KERTAS”, namun drum bekas ini adalah tempat membuat briket dari sampah daun.
Sampah daun dimasukkan ke dalam drum, dibakar dan ditunggu hingga semua menjadi abu. Abu ini yang dipadatkan dan akan dibuat menjadi briket yang bisa dimanfaatkan. Lihat,  hebat bukan komitmen mereka terhadap sampah?

20 December 2010

Dog's talk




Terus terang: aku muak.
Riuh sekali kalian bicara mengenai negara, sejahtera, keadilan, dan ideologi.
Suara kalian adalah omong kosong, omong kosong.

Sekarang lihat,
buktikan bahwa sosialisme, komunisme, demokrasi, dan teman-teman asingnya itu mampu membuat tuanku yang bodoh dan miskin ini menjadi sejahtera dan tidak menderita.

Buktikan bahwa perdebatan panjang kalian ini mampu membuat tuanku tidak mengais sampah lagi untuk mencari makan. Sampah yang bahkan aku pun jijik melihatnya!

Buktikan bahwa tulisan dan omongan kalian ini tidak menjadi sampah serta air ludah yang keluar dan terbuang diinjak orang. Air ludah yang menempel lengket, dari karpet ruang senat mahasiswa sampai meja gedung rakyat yang agung itu!

12 December 2010

10-12 Desember 2010



Pra-RKKS (Retret Kesadaran dan Keterlibatan Sosial) di SMA Pangudi Luhur van Lith Muntilan.

08 December 2010

(tidak) ada yang sia-sia

Ketika itu ada seorang yang bisa berjalan di atas air menyombongkan diri pada Sang Buddha.

“Berapa tahun Anda belajar berjalan di atas air?” tanya Sang Buddha.

“Dua puluh tahun,” jawab orang itu.

Sang Buddha tidak terkejut melihat keahlian orang itu.

Ia malah mengambil sampan dan menyeberang sungai.

“Hanya sekadar untuk dapat menyeberangi sungai ini, Anda sudah belajar selama dua puluh tahun. Alangkah sia-sianya waktu demikian banyak Anda hamburkan,” kata Sang Buddha sambil kembali mengayuh sampan menuju orang itu.
(cuplikan dari salah satu artikel feature Sindhunata berjudul “Hidup yang Ribuan Kali”)

Istilah dalam Jurnalisme*

Yellow journalism
Yellow journalism bukanlah merupakan sebuah aliran jurnalisme, melainkan sebuah julukan yang diberikan oleh The New York Press kepada dua koran besar di kota New York pada awal tahun 1987, yaitu New York World dan New York Journal. (Nurudin, 2009:230) Konon kedua koran tersebut dijuluki demikian sebab warna kertas yang digunakan memang berwarna kuning, kertas berwarna kuning adalah kertas yang murah. Di kemudian hari, yellow journalism digunakan sebagai julukan terhadap produk-produk jurnalisme yang menekankan berita-berita yang sensasional, tidak sebanding dengan substansinya.

05 December 2010

the biggest enemy !

  
I am the biggest enemy of me.

I think that's similar with Jogja.

Who are Jogja's biggest enemy?

Hmm..

Baca Tulisan Lain