Skip to main content

Air Putih Bu Maria


“Bu Maria ada mas, mari masuk.” sapa mbak Sri. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki, bernama mas Heru. Di ruang tamu yang beralaskan semen tersebut hanya ada dua kursi tua dan satu meja kecil yang menghadap ke televisi. Mbak Sri duduk di lantai lalu diam saja, matanya mengikuti layar televisi. Mas Heru melakukan hal yang sama, duduk meluruskan kaki di samping mbak Sri.




Di halaman rumahnya di Nglempongsari, ada tumpukan batu-batu kecil yang jumlahnya cukup banyak. Bu Maria bercerita,”Ya itu pekerjaan sehari-hari ibu, mas. Ngumpul batu dari kali di sana.” Dia mulai bekerja pukul 9 pagi, batu-batu dari sungai itu dikumpulkan lalu diangkat menuju halaman rumahnya. Menjelang siang dia berhenti mencari batu lalu kembali ke rumah untuk memecah batu-batu itu ke dalam ukuran yang lebih kecil. Semua itu dia lakukan untuk menghidupi dirinya dan kedua orang yang tinggal bersamanya. “Ini pekok kabeh, mas, maaf ya.”, katanya dalam bahasa Jawa sambil tertawa.

Mbak Sri adalah adiknya, anak kesembilan dari ibunda Bu Maria. Ketika umur dua tahun mbak Sri mengalami kecelakaan sampai gegar otak, lalu mengalami perkembangan yang lambat. “Tapi masih mudeng dikit mas kalau diajak bicara. Kalau mas Heru ini ora mudeng..” tambah Bu Maria. Mas Heru adalah keponakan Bu Maria, dia mengalami down syndrome dan sudah dirawat Bu Maria sejak kecil.

Tidak sedikit tetangga sekitar Bu Maria yang merasa kasihan dengan kondisinya tersebut. Beberapa tahun lalu sempat ada yang memberinya penghasilan tambahan dengan memintanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Selain itu di lingkungan umat Katolik dia juga mendapat santunan. “Tadi dapat dana APP dari ketua lingkungan, mas.”, lalu melanjutkan,”..kowe ora dong. Ora apa-apa.” tuturnya kepada mas Heru yang mencoba mendengarkan. “Oh ya, ibu ambilkan air putih dulu ya.”, katanya. Bu Maria selalu memberi air putih kepada tamu, karena memang tak ada yang lain. (*)



Keterangan foto (kiri-kanan): 
Mbak Sri, Bu Maria, Aldo (siswa SMA van Lith yang sedang live in), dan Mas Heru.




*Tulisan ini dibuat untuk tugas mata kuliah Penulisan Naskah Feature

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.