“Saya
menyarankan sampai Pasar Bubrah aja, silahkan kalau mau muncak, tapi resiko
tanggung sendiri”, kata seorang pemuda yang sepertinya tahu betul kondisi di
Merapi.
Sebenarnya
keinginan untuk mendaki gunung ini sudah terasa sejak saya masih berstatus
sebagai mahasiswa magang di Litbang Kompas, Jakarta. Pertengahan September ini
akhirnya kesempatan tiba. Awalnya hanya ada Gultom dan saya, dengan keinginan
nekat untuk naik gunung Merbabu meski hanya berdua saja. Namun menjelang
tanggal yang ditentukan mulai berkumpul tiga teman SMA lain: Dicky, Dennis, dan
Cabul.
Hari Kamis
tanggal 13 September 2012 saya iseng googling
lalu membaca bahwa Merbabu sedang kebakaran. Saya lalu menelepon pengawas
resmi, dia mengatakan semua jalur ditutup. Gunung Lawu juga mengalami hal yang
sama. Akhirnya saya telepon petugas untuk Gunung Merapi, satu-satunya jalur
yang dibuka adalah di Kecamatan Selo, Boyolali. Akhirnya perjalanan itu
dimulai!
Kami berlima
naik motor sendiri-sendiri ke Muntilan, mampir ke SMA sempat jadi rumah kami.
Dari sana kami lanjut ke basecamp Selo. Sampai di basecamp sekitar pukul 15.30,
kami lalu mendaftarkan diri, istirahat sebentar dan berjalan ke Joglo, tempat
yang bertuliskan “NEW SELO”. Jalanan aspal dan naik. Bisa ditebak, saya sudah
ngos-ngosan sebelum sampai sana.
Sampai Joglo
kami beli nasi pecel. Lalu mulai mendaki sekitar pukul 17.00. Jalanan berupa
tanah yang debunya beterbangan ke hidung. Saya agak kurang ingat, sepertinya
sebelum jalan tanah itu berakhir kami ambil jalur ke kanan, melewati ladang
penduduk. Melewati seperti gapura kecil yang isinya ucapan selamat datang. Kami
mengikuti jalan setapak sambil mengira-ira jalan mana menuju ke puncak.
Sungguh, kami
hanya mengira-ira. Dari lima orang hanya Dicky dan saya yang sudah pernah
melewati jalur Selo. Waktu itu saya terkilir dan berhenti di tengah, sedangkan
Dicky sampai puncak. Ingatan Dicky dan saya yang waktu itu berjalan di malam hari
tentu tidak bisa diandalkan, maka kami hanya bisa mengira-ira.
Sampai di sana
lalu jalan terus menanjak berbatu. Entah berapa lama, lalu kami melewati lagi
jalan tanah yang terus menanjak jauh. Kami sering berhenti untuk istirahat.
Hampir selalu saya yang minta berhenti untuk mengatur napas J
Lalu jalan mulai
berbatu-batu. Beberapa tempat kami berhenti merupakan tempat terbuka yang
anginnya cukup menusuk. Jalan tetap menanjak, saya semakin sering minta
berhenti barang sejenak untuk mengatur napas sambil menurunkan detak jantung.
Sepertinya kemampuan tubuh saya tidak terlalu kuat, saya sempat merasa agak
pusing. Namun perjalanan terus dilanjutkan.
Kami tidak tahu
ada berapa pos, ada penanda apa saja untuk sampai puncak, meski beberapa di
antara kami sudah membaca pengalaman pendaki lain ketika mendaki ke Merapi.
Pokoknya kami asal melewati jalur yang ada bekas tapak sepatu orang lain.
Saya ingat
betul, tujuan kami saat itu hanya satu: Pasar Bubrah. Belakangan saya bersyukur
tidak sampai tempat itu, sebab jalurnya lumayan berat.
Setelah sekian
lama waktu istirahat kami mulai semakin panjang. Sempat 15 menit lebih, padahal
sebelumnya hanya beberapa menit. Ketika sudah mulai mengantuk kami lalu
mencari-cari tempat landai untuk mendirikan tenda dan tidur. Sungguh beruntung,
tak lama kami memutuskan hal itu, kami melihat ada tenda di depan kami. Beruntung
lagi di sebelah tenda itu ada tempat yang cukup untuk mendirikan tenda kami.
Kami lalu mendirikan tenda, memasak, dan mulai tidur dengan posisi yang
menjijikkan J
Oh ya, saya
harus berterima kasih kepada mas Wungkal yang pernah mengajari kami tentang prinsip
‘simbah manggung’. Jadi, meski angin bertiup kencang, kala itu kami tidak
kedinginan.
Ketika langit
mulai terang saya terbangun dan merasa senang sebab puncak sudah terlihat
semakin dekat. Pasar Bubrah juga hanya tinggal melewati satu bukit lagi. Kami
beres-beres tenda dan packing ulang lalu menuju Pasar Bubrah. Perjalanan kurang
lebih satu hingga satu setengah jam, akhirnya kami sampai Pasar Bubrah.
Saya takjub..
Ini pemandangan luar biasa. Terbentang tempat sangat luas berisi batu-batu
besar dan kecil, dengan latar belakang gundukan batu dan pasir membentuk apa
yang dinamakan puncak Merapi. Kelelahan tadi malam seakan terbayar ketika
melihat ini semua.
Kami mulai
mencari batu besar untuk menahan angin, sebab kami akan memasak. Setelah itu
kami, kecuali Dicky, berjalan menuju puncak. Ini adalah perjalanan tersulit.
Sejak letusan tahun 2010 lalu jalur menuju puncak Merapi sudah berubah. Hanya
ada satu jalur di sisi kiri yang bisa dilewati.
Jalan itu
awalnya berupa batu-batu yang mudah longsor. Lalu melewati pasir yang membuat
sepatu kita terbenam tiap menginjak. Dennis yang ada berada di belakang saya
berhenti sampai sebelum pasir itu, dia merasa ada yang tidak beres dengan
kakinya. Setelah pasir dilewati kami dihadapkan pada semacam dinding batu yang
sudut kemiringannya 45 derajat atau lebih.
Sungguh, ini
jalur yang membuat saya takut. Bagaimana tidak, saya berada di antara batu-batu
muda yang jatuh bila diinjak. Ini pula yang dirasakan oleh dua teman di atas
saya: Gultom dan Cabul. Dengan posisi memanjat yang tidak bisa dibayangkan,
kami berdiskusi sebentar dan akhirnya tidak melanjutkan ke atas. Padahal
rasanya puncak sudah dekat sekali, sudah hampir tergapai. Tapi tampaknya
pengetahuan, kemampuan, nyali, ketahanan fisik, dan waktu kami miliki belum cukup
untuk mengantar sampai puncak.
Sampai di Pasar
Bubrah lalu saya iseng bertanya: “Sebenarnya esensi naik gunung itu sampai
puncak gak sih?” Spontan Gultom menjawab, “Enggaklah, esensi naik gunung itu
sampai rumah (dengan selamat).” Awalnya kami tertawa, tapi akhirnya kami
menyepakati itu. Tentu, ini bukan semacam hiburan karena kami tak sampai
puncak. Hanya kami sadar diri dan mencoba rasional, jika lima hal yang tadi
saya sebutkan tidak dimiliki dengan optimal, kami harus menanggung resiko yang
besar. Bukan tidak mungkin kami tidak sampai rumah.
Akhirnya kami
turun dengan disusul para pendaki yang ketahanan fisiknya hebat-hebat. Sampai
di NEW SELO merupakan kelegaan yang luar biasa. Akhirnya saya hanya bisa
berkata bahwa pendakian selalu mengingatkan saya bahwa manusia itu sangat kecil
dibandingkan alam. Oh ya, ada satu pelajaran besar untuk saya yang mungkin berguna juga untuk anda yang membaca: jangan naik gunung dengan membawa dua tas besar. Saya
bawa carrier di punggung, lalu bawa tas daypack di depan. Ini sungguh
merepotkan diri sendiri dan teman sekelompok.
No comments:
Post a Comment