Skip to main content

Lucu



Sebenarnya apa sih  yang membuat kita tertawa ketika mendengar orang bicara? Ketika menonton stand up comedy saya tidak selalu tertawa, bahkan kebanyakan tertawa karena mendengar tawa penonton. Tertular.


Pernah suatu kali saya ikut misa di gereja. Ketika khotbah sang romo hendak menyisipkan humor dalam khotbahnya. Begini ceritanya:

“Ada seorang laki-laki muda yang kaya dan berkuasa. Suatu pagi dia ingin nasi goreng untuk sarapan. Dia lalu menyuruh ajudannya untuk membeli nasi goreng.

Hei jud.. belikan nasi goreng ya. Yang spesial, telurnya dua.

Ketika siang hari laki-laki itu ternyata masih ingin nasi goreng. Dia lalu menyuruh ajudannya lagi untuk membeli nasi goreng, persis seperti tadi pagi. Nasi goreng spesial, dengan dua telur.
Menjelang malam, dia ingin mencari “teman tidur”. Dia lalu berkata kepada ajudannya:

Hei jud.. cariin teman tidur ya. Ingat, yang spesial.

Setelah teman tidur itu dibawa ke rumah, laki-laki itu marah dan kecewa kepada ajudan, karena yang dibawa adalah banci.”

Itu ceritanya. Saya berusaha menuliskan semirip mungkin dengan ketika romo bicara. Ketika romo selesai bercerita saya mengamati bahwa yang tertawa itu hanya segelintir orang saja. Yang lain diam, termasuk saya. Saya lalu berpikir, hal apa dari cerita tersebut yang tidak membuat orang tertawa?
Apakah ceritanya tidak lucu?
Apakah cerita itu tidak pas diceritakan dalam misa?
Apakah cara bicara orang melucu yang tidak lucu?
Ataukah seharusnya cerita berhenti sampai dialog terakhir saja, tanpa ada penjelasan tentang banci?
Saya masih berpikir. Yang jelas lucu itu relatif, tidak semua yang dianggap lucu bagi suatu orang (atau budaya) adalah hal yang lucu juga bagi orang lain.


NB: sebenarnya saya lebih suka istilah waria, tapi di tulisan ini saya pinjam istilah dari romo itu.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.