Skip to main content

Teman Terakhir

Tahun lalu ketika di Jakarta saya diajak oleh seorang asisten peneliti ke tempat teman gengnya yang habis menabrak seorang ibu.



Setelah dari rumah sakit kami makan bersama di tempat semacam angkringan. Di sana mereka lalu patungan untuk biaya pengobatan ibu itu. Masing-masing mengeluarkan uang biru pecahan lima puluh ribu untuk dikumpulkan.

Karena dompet tipis, saya memutuskan untuk bicara dengan ketua gengnya nanti setelah akan pulang. Saya bilang, "Maaf, mas, saya gak bawa duit banyak. Saya kasih sepuluh ribu ya buat yang tadi."

Dengan santai dia menjawab,
"Wah, santai aja, mas. Kami temenan dari dulu kayak begini. Sejak kuliah kalau pada stress ya terus kumpul begini sama temen, bukan sama pacar. Temen kuliah kan temen terakhir kita, besok kerja udah gak cari temen lagi."

Mungkin jawaban dia agak panjang dan tidak nyambung. Kalimat pertama saja rasanya sudah cukup menanggapi omongan saya.

Meski begitu, jawaban dia tadi membuat saya berpikir dan agak menyesal. Dulu saya begitu yakin bahwa teman SMA itu adalah teman terakhir. Keyakinan itu bertambah ketika muncul istilah masa SMA adalah masa terindah.

Sekarang saya tidak begitu percaya. Masih ada teman kuliah. Masih ada masa kuliah yang tak kalah indah. Agak menyesal, saya jatuh dalam kekecewaan akademis hingga malas berteman dengan banyak orang. Beruntung kini saya punya satu lingkaran pertemanan yang saling mendukung.

Jika omongan ketua geng tadi benar, berarti mereka adalah teman-teman terakhir.





*ditulis di sela-sela paragraf buku hitam*

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.