Skip to main content

Lha Mengko Nek

Judul tersebut jika diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu-Indonesia (logat Jawa) menjadi "Lha nanti kalau..."
Tapi ada yang lebih penting dari terjemahan dari ungkapan itu, yaitu apa yang saya maknai ke tiga kata itu. Akhir-akhir ini saya sering sekali berpikir tentang ungkapan ini, mungkin karena saya sering bertemu dalam omongan sehari-hari.

Misalnya begini (contoh fiktif):

"Aku kudu piye?"
"Mending nanti sore kamu olahraga jogging aja, daripada bingung."
"Lha nanti kalau lututku sakit gimana?"
"Ya kalau gitu jalan aja, kan gak terlalu menghentak."
"Lha nanti kalau GSP (Graha Sabha Pramana, di UGM, tempat biasa dipakai olahraga) rame gimana?"
"Milih bagian yang sepi, yang jarang dipakai olahraga."
"Lha nanti kalau hujan?"
"Hujan ngeyup (berteduh) aja, kan ada. Atau pulang sebelum deres."
"Lha nanti kalau pingsan gimana, kan aku belum makan."
"Kalau gitu sekarang makan dulu.."
"Lha nanti kalau suduken gimana? Masak habis makan trus olahraga.."
"Ya jangan banyak-banyak makannya."

(dan dilanjutkan dengan "lha nanti kalau.." yang lain)

"Lha mengko nek.." adalah ungkapan sebuah kekhawatiran; ketakutan akan apa yang belum tentu terjadi; kemalasan untuk bertindak dan mengambil keputusan; sikap penuh pertimbangan; antisipasi; ketidakpercayaan diri; sikap tidak mau maju; penyakit kejiwaan yang sulit disembuhkan; kesombongan; kritis terhadap omongan orang lain dan lalu terpuruk karena tidak menemukan solusi; atau hanya ingin mencari perhatian saja supaya orang lain memikirkan solusi untuk dirinya?

Saya merasa orang yang terlalu sering mengucapkan "Lha mengko nek.." akan kelelahan memikirkan seribu kemungkinan buruk sebelum dia mengambil sebuah keputusan dan menjalankannya.

Lalu untuk orang yang memberikan solusi, ungkapan ini membuat dia selalu mencari jawaban lain hingga si penanya atau dia duluan yang lelah, lalu berhenti bertanya atau menjawab, tanpa tahu apakah ada hasil dari jawaban-jawaban itu. Atau bahkan sebaliknya: tidak akan mau memberi solusi dan jawaban lagi karena dia tahu akan selalu dijawab dengan "Lha mengko nek.."

Terus bergerak dalam diam.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.