Skip to main content

Hilang

Di sudut rumah kecil itu aku duduk meringis.
Ibu membasuh luka di lututku.
Pasir-pasir yang menempel segera sirna.
Tinggal kulit terkelupas yang terlihat basah.

“Sudah, jangan nangis lagi,” katanya.

Ibu cekatan sekali menggenggam kapas.
Kapas itu merah, entah karena darah atau obat merah.
Oh ya, tahu rasanya obat merah?
Dingin, dan perih.

“Sudah, jangan nangis lagi,” katanya lagi.

Aku segera mengelap air mata di pipi.
Tak hanya itu, ingus pun aku lap juga.
Entah apa hubungan ingus dengan air mata,
tapi mereka sering datang bersama.

“Ibu, terimakasih,” kataku.

Ibu hanya mendongak ke arahku.
Matanya berkaca-kaca,
seakan ada barisan ombak yang hendak roboh.
Ibu hanya mengangguk.

“Ibu kenapa menangis?” tanyaku.

Lalu aku terdiam.
Ibu hanya memegang kakiku.

Entah di mana aku.




pukul 3:29
sedang takut kehilangan

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.