Di sudut
rumah kecil itu aku duduk meringis.
Ibu
membasuh luka di lututku.
Pasir-pasir
yang menempel segera sirna.
Tinggal
kulit terkelupas yang terlihat basah.
“Sudah,
jangan nangis lagi,” katanya.
Ibu
cekatan sekali menggenggam kapas.
Kapas
itu merah, entah karena darah atau obat merah.
Oh
ya, tahu rasanya obat merah?
Dingin,
dan perih.
“Sudah,
jangan nangis lagi,” katanya lagi.
Aku segera
mengelap air mata di pipi.
Tak hanya
itu, ingus pun aku lap juga.
Entah
apa hubungan ingus dengan air mata,
tapi
mereka sering datang bersama.
“Ibu,
terimakasih,” kataku.
Ibu
hanya mendongak ke arahku.
Matanya
berkaca-kaca,
seakan
ada barisan ombak yang hendak roboh.
Ibu
hanya mengangguk.
“Ibu
kenapa menangis?” tanyaku.
Lalu
aku terdiam.
Ibu hanya
memegang kakiku.
Entah
di mana aku.
pukul 3:29
sedang takut kehilangan
No comments:
Post a Comment