25 September 2014

Hilang

Di sudut rumah kecil itu aku duduk meringis.
Ibu membasuh luka di lututku.
Pasir-pasir yang menempel segera sirna.
Tinggal kulit terkelupas yang terlihat basah.

“Sudah, jangan nangis lagi,” katanya.

Ibu cekatan sekali menggenggam kapas.
Kapas itu merah, entah karena darah atau obat merah.
Oh ya, tahu rasanya obat merah?
Dingin, dan perih.

“Sudah, jangan nangis lagi,” katanya lagi.

Aku segera mengelap air mata di pipi.
Tak hanya itu, ingus pun aku lap juga.
Entah apa hubungan ingus dengan air mata,
tapi mereka sering datang bersama.

“Ibu, terimakasih,” kataku.

Ibu hanya mendongak ke arahku.
Matanya berkaca-kaca,
seakan ada barisan ombak yang hendak roboh.
Ibu hanya mengangguk.

“Ibu kenapa menangis?” tanyaku.

Lalu aku terdiam.
Ibu hanya memegang kakiku.

Entah di mana aku.




pukul 3:29
sedang takut kehilangan

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain