Menulis
itu mudah. Menulis itu susah. Kalau mudah, kenapa tak semua orang mampu menulis
baik? Kalau susah, mengapa produksi tulisan di media sosial selalu membanjir
tiap kedipan mata?
Mereka
lalu berdebat di antara kedua pendapat itu. Bagi saya, menulis itu soal
kebiasaan. Saya sepakat dengan rentetan manfaat dari menulis: melegakan,
rekreatif, menyembuhkan gangguan psikologi, melatih berpikir, dan masih banyak
lainnya.
Namun,
hati-hati. Sudah pernah dengar ungkapan “Jebakan dari orang yang berdoa adalah
dia merasa suci”? Menulis barangkali juga demikian. Saya habis baca tulisan
menarik di Twitter.
Menulis:
untuk merawat kewarasan.
Membaca:
untuk menyelami pikiran orang-orang waras.
Bagaimana
menurut anda? Sekilas, bagi saya, tulisan itu sombong. Itu kesombongan penulis.
Penulis adalah orang—yang mengklaim dirinya—waras, lalu dirawat kewarasannya.
Pertanyaannya, apakah berarti orang yang tidak menulis itu tidak merawat
kewarasan?
Sedangkan
apa-apa yang tidak dirawat punya dua pilihan: mati; atau tumbuh tak
terkendali—dan seringkali justru mematikan yang lain. Apakah orang yang seumur
hidupnya tak pernah menulis akan berhadapan dengan kedua pilihan itu?
Setelah
saya pikir-pikir lagi, itu bukan hanya sombong, tetapi juga naif alias lugu.
Bagaimana dengan para penulis koran Lampu Hijau? Penulis situs-situs Islam
radikal abal-abal yang isinya hoax semua? Penulis akun media sosial Katolik
yang isinya menyerang agama lain sana sini dengan brutal? Penulis informasi
sesat lalu disebar melalui Whatsapp dan membuat teror di mana-mana?
Di mana letak “perawatan kewarasan” dari para penulis-penulis itu?
Jaman
50 hingga 100 tahun lalu, aktivitas menulis barangkali memang milik kaum
intelektual-teknokrat. Mereka berpendidikan tinggi, berasal dari keluarga
mapan, dan punya posisi setara dengan bangsawan di tengah-tengah masyarakat.
Bolehlah menjadi sombong karena bisa menulis pada saat itu. Terserah saja.
Sekarang?
Setiap orang bisa menulis dengan mudah di setiap tempat, bahkan dalam genggaman
mereka. Tidak ada yang perlu disombongkan dengan kemampuan menulis.
Bukankah
lebih baik menyombongkan karya tulisan kita, dari pada menyombongkan kita yang
menelurkan karya tersebut?
Sombongkan karya tulis kita. Pamerkan di media
sosial. Kirim tautan blogmu ke akun-akun pribadi. Kirim tulisanmu ke koran dan
majalah. Ikuti lomba-lomba dan kejarlah juaranya. Karya adalah—semacam—anakmu,
banggakan dia, bukan dirimu!