via kolatinformant.com |
“Sepuluh tahun setelah lulus SMA, ceritakan pada saya apa yang telah kalian
lakukan pada hidup kalian,” kata seorang bruder sekitar 8 tahun yang lalu.
Barangkali tidak banyak yang ingat dengan kata-kata itu. Yang jelas
saya tidak sedang mengada-ada biar tulisan ini berbumbu. Seingat saya, kalimat
itu terucap ketika beliau sedang bicara di bangsal Asrama Putera.
Saat itu muncul pertanyaan yang biasa saja: kenapa harus sepuluh tahun?
Saya lalu membayangkan, mungkin karena sepuluh tahun setelah lulus SMA,
usia kami sekitar 28. Usia itu adalah pertengahan usia 25 dan 30.
Dengar-dengar usia 25 adalah usia rawan, ketika keputusan-keputusan
besar serentak mendatangi: mulai dari karir hingga pasangan hidup.
Dengar-dengar juga usia 30 adalah penentu, atau menjadi semacam target, bahwa
pada usia itu kita sudah menemukan kemapanan atas keputusan yang kita ambil
saat usia 25.
Namun, setelah saya pikir lagi, saya memaknainya secara berbeda. Kini
saya sudah menyelesaikan satu tahap pendidikan tinggi di usia 25. Perjuangan
saya saat ini adalah mencari tempat hinggap yang paling sesuai untuk
mengembangkan hidup.
Sementara puluhan hingga ratusan teman seusia saya sudah mulai
membangun karir mereka sejak dua hingga tiga tahun yang lalu.
Sementara juga, belasan teman seusia saya baru saja lulus sarjana.
Mereka masih perlu mengikuti tes-tes masuk perusahaan untuk bisa bekerja—yang
barangkali butuh waktu juga. Beberapa dari mereka juga sudah membangun bisnis
sejak masih kuliah.
Nah, inilah yang saya refleksikan dari perkataan bruder tadi.
Asumsinya, sepuluh tahun setelah lulus, kami sudah bekerja. Barangkali ada yang
baru bekerja 3 tahun, atau mungkin sudah 7 tahun. Berapapun durasinya, posisi
kami diasumsikan sama: sudah bekerja.
Ini bukan soal jabatan, gaji, bisnis, ataupun posisi ya. Ini soal waktu. Kami akhirnya
selesai bersama di SMA, dan mengawali bersama di bangku kuliah. Namun kami
mengakhirinya dalam waktu berbeda, dan mengawali masa setelah kuliah juga
dengan waktu yang berbeda.
Bila dilihat dalam jangka waktu puluhan tahun, selisih tiga tahun tidak
begitu berarti. Barangkali itulah yang dimaksud bruder pada waktu itu.
Tiga tahun lagi, sekitar bulan sembilan atau sepuluh, saya akan
memenuhi permintaan bruder—meskipun dengar kabar kalau sekarang beliau sudah
menjadi awam.
Tiga tahun lagi, mau jadi apa kita?