Skip to main content

Mengenang Penolakan

Entah mengapa algoritma Instagram mengantar saya ke video-video orang yang berhasil masuk ke PTN. Templatnya standar: buka laptop, disaksikan oleh orang-orang di belakangnya. Ketika hasil baiknya keluar mereka akan berteriak kegirangan, tepuk tangan, diiringi ucapan syukur pada Tuhan.

Konten macam begini bikin saya ingat 15 tahun lalu saat kali pertama ditolak oleh UGM.

Malam hari di Muntilan

Sepanjang 2006-2009 saya tinggal di sebuah asrama di Muntilan. Jelang seleksi masuk PTN sebagian besar dari kami makin rajin belajar dan berdoa. Saya termasuk ada di kelompok itu. Kami belajar materi dan trik mengerjakan soal.

Singkat cerita, malam itu adalah malam pengumuman hasil seleksi. Berbekal satu laptop, kami sekitar delapan orang berjalan menuju titik yang ada koneksi internetnya. Kami berjalan sambil dengar suara sorak-sorai karena ada beberapa kawan yang berhasil masuk UGM, UNPAD, dan PTN lainnya. Sorakan itu bikin makin grogi.

Satu laptop itu kami pakai bergantian. Sendiri dan tanpa ada orang di belakang. Kami bersepakat: apapun hasilnya kami tidak boleh menunjukkan ekspresi.

Tiba giliran saya. Saya buka dengan jantung berdebar. Jari terasa kaku, apalagi disengat dinginnya malam di Muntilan. Saya buka website lalu ketik nomor pendaftaran secara pelan-pelan agar tidak salah.

Saya menahan napas beberapa detik.

Hasilnya jelas dan tegas: saya ditolak. Saya coba refresh halaman dan masukkan lagi nomor pendaftaran. Hasilnya tetap sama.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya saya ditolak. Enam tahun sebelumnya saya ditolak masuk ke SMP Negeri 8 Jogja. Tetap saja, penolakan ini rasanya bikin hancur, hampa, dan merasa bodoh.

Saya tidak sendiri. Tiga kawan lain juga tidak lolos. Kami lalu berpisah dengan empat kawan lain yang lolos. Mereka kembali ke asrama dengan bawa laptop. Sementara kami tidak langsung kembali ke asrama. 

Kami memilih untuk berjalan ke kapel sambil menata hati untuk siap ditanya hasilnya oleh kawan-kawan di asrama.

Kembali ke Jogja

Setelah penolakan pertama itu, saya belum menyerah. Saya coba lagi lewat jalur lain. Juga coba lagi tahun depannya. Saya sempat ikut lembaga bimbingan belajar juga sambil kuliah semester 1 dan 2 di kampus Babarsari.

Hasilnya? Sama saja. Masih ditolak tanpa ampun.

Sepanjang 2009-2010 saya empat kali ditolak menjadi mahasiswa UGM. Penolakan pertama bikin patah hati parah. Begitu terus berulang hingga penolakan ketiga. Penolakan keempat - yang adalah peluang terakhir untuk jadi mahasiswa UGM - rasanya sudah hampir biasa saja.

Pengalaman berkali-kali ditolak masuk ke universitas kembali terjadi selama lima tahun terakhir. Tidak hanya empat kali tapi lebih dari sepuluh kali kalau dihitung keseluruhan. Namun kabar baik muncul dalam beberapa bulan terakhir.

Semoga semua yang ditolak akan menemukan jalannya sendiri.

 

(Kamar 4 Fairfield - bulan lima yang mulai beku)

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.