Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2011

Resurrecting the Champ

under construction

The Last Samurai

Tidak berlebihan rasanya bila saya menuliskan bahwa film ini adalah satu dari beberapa film terbaik yang pernah saya tonton. Memang rasanya terlalu terlambat untuk menontonnya sebab kalau film ini sudah dirilis sejak tahun 2003. Namun jangka waktu beberapa tahun ini saya rasa tidak mengurangi kualitas cerita film -karena memang tidak ada relevansinya. Saya yakin bahwa setiap orang yang pernah menonton The Last Samurai akan menangkap tema besar film ini, sebut saja budaya tradisional versus budaya modern. Tentu kita tidak akan berhenti di tema tadi, apalagi kemudian hanya berhenti pada pemenang atas ‘pertarungan’ tersebut. Harga Diri Saya menyebutnya harga diri, bukan gengsi. ‘Harga diri’ di tulisan ini dikaitkan dengan frasa ‘bangsa Jepang’ sehingga menjadi ‘harga diri bangsa Jepang’ (lihat betapa janggalnya kalau kita menyebut ‘gengsi bangsa Jepang’, meski mungkin memang gengsi. hehe..). Nah, harga diri bangsa Jepang yang saya maksud direpresentasikan oleh tradisi harakiri. Sejauh...

The Curious Case of Benjamin Button

“Dulu waktu saya masih tua, pak..” adalah cuplikan kalimat gurauan saya dan seorang teman sekamar ketika di asrama. Dan suatu sore tiba-tiba dia berteriak, “Njay! Ide kita dicuri orang! Ternyata omongan kita udah dibikin film..” Tentu saja dia hanya bergurau, ide kami tidak mungkin dicuri si pembuat film, dan kami juga tidak tahu ada film dengan cerita itu. Dan inilah film yang dia maksud: The Curious Case of Benjamin Button . Resensi tentang cerita film ini sudah banyak ditulis di dunia maya, saya tidak akan banyak menuliskan jalan ceritanya. Latar belakang cerita film ini adalah akhir Perang Dunia I, ketika negara kelahiran Button berada dalam euforia kemenangan perang. Secara sangat singkat, Benjamin Button terlahir tua dan mati sebagai anak kecil (baca: bayi).

"Aha! moment"

(tulisan ini tidak berkaitan dengan  kegiatan promosi atau iklan suatu produk) Beberapa bulan lalu saya sekilas mendengarkan salah satu radio swasta di kota Yogyakarta. Saya tertarik untuk mendengarkan sebab radio tersebut sedang mengadakan kuis, kuis yang sederhana namun membuat saya bertanya. Pertanyaan (baca: perintah) dari kuis itu: “ tuliskan ‘aha!’ moment dalam hidupmu , kirim SMS ke…bla..bla..bla…”

Rasa Cabai tak Sepedas Harganya

Sebenarnya saya enggan menulis masalah cabai ini, karena -terus terang- saya malu. Tak perlu saya tulis alasan mengapa saya malu, tak perlu juga saya tuliskan umpatan dan kritikan yang tak jelas arahnya. Hanya sekelumit cerita yang cukup aneh untuk dituliskan dalam blog ini (bahkan terlalu aneh untuk dialami dan dipikirkan) yang dapat saya sumbangkan kepada entah siapa. “ Eh, dikeke ngarepku wae, sangang puluh ewu e.. ” suruh seorang ibu pemilik warung makan kepada pegawainya pada suatu siang (6/1). 

Kirab Budaya: Yogyakarta Kota Republik

“ Kayane pawaine isih adoh, tak maca koran sik wae karo ngenteni.. ” pikir seorang warga Yogyakarta pada sore itu. Kemudian mulai terdengar suara gaduh di ujung jalan. Beribu pasang mata mulai berbinar ke arah itu, mencari sumber suara yang mereka nanti-nantikan. Suara yang berasal dari keprihatinan terhadap tindak penguasa yang tidak sensitif terhadap budaya Jawa yang diagung-agungkan di tempat ini. Bapak tadi mulai menutup korannya dan berdiri menyambut serombongan orang dari berbagai komunitas. Jalan Malioboro sore itu menjadi milik mereka yang berpartisipasi dalam: "Kirab Budaya: Yogyakarta Kota Republik" Bukan sekadar  festival, kegiatan ini merupakan bentuk aksi politik masyarakat Yogyakarta yang prihatin oleh tingkah penguasa. Dengan pahamnya sendiri si penguasa ingin mengubah tatanan pemerintahan Yogyakarta yang secara tidak langsung mengubah budaya dan seakan mengabaikan sejarah. Aksi yang berlangsung hari Selasa (4/1) ini didukung sepenuhnya oleh langit. Kur...

njejak lemah

Hanya sebagai catatan singkat: Sebagai seorang pemuda yang perlu banyak belajar, saya belajar sedikit mengenai kapitalisme bukan dalam rangka menentang kapitalisme atau justru menjadi kapitalis-kapitalis baru. Sejauh ini, belajar kapitalisme membuat saya untuk selalu berusaha menjejak tanah ketika menginginkan (membutuhkan), memilih, dan membelinya di dalam toko. Stop di sini, sebelum saya mengumbar kata-kata yang saya sendiri tidak mengerti maksudnya.