Skip to main content

Sebelah Selatan Angkringan Seberang Pintu Belakang Stasiun Tugu Yogyakarta


Pukul tujuh kurang lima menit, sebelum Kereta Prambanan Ekspres berangkat menuju Stasiun Balapan Solo. Di seberang pintu samping Stasiun Tugu Yogyakarta, aku duduk di samping penjual angkringan. Namanya Agung. Es jeruk, susu jahe, dan sebatang Djarum ada di depanku.

Tiba-tiba seorang pemuda berpakaian rapi datang. Mukanya terlihat agak lelah.
Agung : Minum apa, mas Kus?
Rupanya Kus namanya, entah siapa nama lengkapnya.

Di samping dia kemudian duduk seorang bapak, mereka sudah saling kenal. Aku tak tahu namanya.
Kus : Seka endi, pak?
Bapak itu : Biasa, seka stasiun endi-endi.
Kus : Oalah.. tak pikir seka kidul. (sambil tersenyum)
Bapak itu : Wah, wis suwe ora, Kus. Kowe wae kana..
Kus : Saiki wis ana bojo, pak, wis ana tambane. Dhisik pas durung duwe ya seneng, hobi.

Perbincangan selanjutnya tidak kudengarkan. Kubiarkan saja suara mereka tertelan deru mesin sepeda motor dan mobil di belakangnya. Rokok masih menyala, menerbangkan, ehm, menyebarkan penyakit. Menerbangkan juga imajinasi untuk mengarang nama-nama orang tadi.

Angkringan ini terletak di Jalan Pasar Kembang; jalan yang tersohor di Yogyakarta. Sekitar lima meter di sebelah timur angkringan ada sebuah gang masuk ke arah selatan. Depan gang itu sepi, sesepi hati banyak ibu memakai rok mini yang menunggu di luar, 15 meter masuk dalam  gang. Ke arah Selatan.


*true story, true places, fiction names.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.