Pukul tujuh kurang lima menit, sebelum Kereta Prambanan Ekspres berangkat menuju Stasiun Balapan Solo. Di seberang pintu samping Stasiun Tugu Yogyakarta, aku duduk di samping penjual angkringan. Namanya Agung. Es jeruk, susu jahe, dan sebatang Djarum ada di depanku.
Agung : Minum apa, mas Kus?
Rupanya Kus namanya, entah siapa nama lengkapnya.
Di samping dia kemudian duduk seorang bapak, mereka sudah saling kenal. Aku tak tahu namanya.
Kus : Seka endi, pak?
Bapak itu : Biasa, seka stasiun endi-endi.
Kus : Oalah.. tak pikir seka kidul. (sambil tersenyum)
Bapak itu : Wah, wis suwe ora, Kus. Kowe wae kana..
Kus : Saiki wis ana bojo, pak, wis ana tambane. Dhisik pas durung duwe ya seneng, hobi.
Perbincangan selanjutnya tidak kudengarkan. Kubiarkan saja suara mereka tertelan deru mesin sepeda motor dan mobil di belakangnya. Rokok masih menyala, menerbangkan, ehm, menyebarkan penyakit. Menerbangkan juga imajinasi untuk mengarang nama-nama orang tadi.
Angkringan ini terletak di Jalan Pasar Kembang; jalan yang tersohor di Yogyakarta. Sekitar lima meter di sebelah timur angkringan ada sebuah gang masuk ke arah selatan. Depan gang itu sepi, sesepi hati banyak ibu memakai rok mini yang menunggu di luar, 15 meter masuk dalam gang. Ke arah Selatan.
*true story, true places, fiction names.
No comments:
Post a Comment