Skip to main content

Sastro Moeni



Untuk pertama kalinya saya motret panggung. Pakai NIKON D3000 dipasang lensa standar, karena hanya itu yang saya punya. Saya tidak pintar memotret, apalagi motret panggung. Dengan rasa malu saya tunjukkan hasilnya dalam tulisan ini. 


By the way, mereka adalah personil Sastro Moeni. Sabtu (8/10) di lembah UGM dalam acara gawean part II. Pertama kali saya nonton ketika mereka manggung di SMA PL van Lith Muntilan. Seingat saya personil Sastro Moeni ketika itu lebih lucu. Mungkin karena yang sekarang ini muka dan pakaiannya nggenah, berbeda dengan personil yang waktu itu.


Bicara tentang kualitas, saya tidak meragukan. Saya melihat yang sekarang ini mas-mas yang berdiri di belakang keyboard punya skill yang baik. Yang lain: vokalisnya bisa bawa suasana, gitarisnya mendukung, bassisnya anteng, drummernya boleh juga (maaf mas, tidak bisa motret anda).


Sukseslah untuk Sastro Moeni, terus berinovasi supaya pendengar tidak bosan. Sukses juga untuk teman-teman gawean, semoga kegiatan ini jadi batu loncatan.






Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.