Skip to main content

Tentang Cinta


Menarik lho ini iklan. Meski saya bukan ‘cah adver’ (mahasiswa yang konsentrasi studinya di advertising/periklanan), namun semua orang saya kira boleh menginterpretasikan iklan. By the way, apa yang menarik?

KALO UDAH CINTA PESEN UNDANGAN AJA…

Mari bermain-main dengan kalimat ini. Mengapa kata ‘cinta’ dan ‘undangan’ diberi warna merah, sedangkan yang lain tetap hitam? Barangkali ini pertanyaan mudah untuk anda jawab. Kata ‘undangan’ itu representasi dari ‘menikah’ atau ‘kawin. Ketika melangsungkan pernikahan kemudian kita mengundang tamu pada resepsi pernikahan. Kira-kira begitulah.

Apa yang menarik?


Sebenarnya ini subjektif sekali. Iklan ini bukan menarik saya untuk pesan undangan, tapi menarik saya untuk berpikir: apa iya pernikahan hanya butuh cinta?

Pernah suatu kali dosen Pengantar Antropologi saya berkata di dalam kelas, “Cinta itu bullshit.” Sontak kami tertawa keras. Ada yang penasaran, ada yang tersinggung, ada yang bingung. “Dari perspektif Antropologi, pernikahan merupakan relasi ekonomi. Bukan cinta.” jelasnya.

Ketika itu saya diam dan berpikir.
Bisakah pernikahan tanpa cinta?
Ah, mungkin bisa.
Baiklah.
Bisakah pernikahan bertahan tanpa cinta?
Mungkin saja bisa.
Bisakah pernikahan berakhir karena cinta?
Aduh, ini juga bisa saja.

Banyak orang bisa jadi berpikir begini:
Pernikahan itu didasari dengan cinta.
Ketika ada cinta, semua masalah (termasuk ekonomi) bisa diatasi.
Cinta bahkan mampu menembus dinding perbedaan setebal dan sekuat apapun.
Cinta datangnya dari Tuhan.
Bla..bla..bla..

Menurut saya naif.

Di sisi lain, seorang dosen Kajian Budaya juga pernah mengatakan, “Di Indonesia ini tidak ada konsep LOVE.”
Love=Cinta? Ternyata tidak. Mereka berbeda makna, itu sekadar usaha mencari padanan kata. Love memiliki makna yang berbeda dengan cinta. Cinta itu berasal dari bahasa asing (maaf, saya lupa tepatnya dari bahasa mana) yang artinya ikatan.

Pelan-pelan kembali berpikir. Saya rasa yang dimaksud dosen Antropologi adalah ‘love’, bukan ‘cinta’. Karena ‘cinta’ (yang artinya ikatan itu tadi) bisa jadi diperlukan juga dalam relasi ekonomi pernikahan. Ikatan yang ada mampu membuat relasi ekonomi menjadi lebih teratur, walaupun pasti ada implikasi di baliknya. 

Lalu apa yang dimaksud pengiklan dalam tulisan CINTA tadi, ‘cinta’ ataukah ‘love’?


 ***





#Catatan penulis:  

Maaf. Ini kebiasaan saya. Mengakhiri tulisan dengan tidak jelas, begitu juga dengan tubuh tulisan, dan pertanyaan yang tak terjawab. Kalau tulisan merepresentasikan isi otak penulis, maka bisa jadi ini isi otak saya. Bisa jadi..

Comments

  1. Kalo menurut saya dari segi desain..tulisan CINATA dan UNDANGAN diberi warna yang lebih terlihat karena itu yang ingin mereka tampilkan pertama saat orang membaca. Jadi point utama ada cinta dan undangan..begitu saudara penulis...

    Pertanyaan : Menurut penulis sekarang cinta penulis skrg yang mana? love ato cinta? =P

    ReplyDelete
  2. Em.. bukan love, bukan cinta, tapi 'kehendak untuk berkuasa' (istilahnya Nietzche) haha.. coba kalau ada waktu cek tulisan dia tentang itu jos..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.