Skip to main content

Pagi yang Biasanya

Tidur pukul setengah dua pagi, bangun pukul setengah tujuh. 
Menyapu halaman penuh daun kering yang basah kena tanah, seharian kemarin belum disapu. 
Di teras ada dua koran, edisi kemarin dan hari ini. 
Lapar dan bingung, tapi jangan sampai tidur lagi. 
Akhirnya memotret beberapa objek di dalam dan luar rumah.


Salib di meja, ada daun palma. Di bawahnya ada gelas AQUA, entah sudah 
berapa lama terbuka dan ada di sana.


Heran melihat timbangan. 80 kilogram daging, lemak, otot, tulang, otak, dan dosa.




Merah (jambu) ?


Kunci yang belum dilepas dari gembok. Kunci ini milik ibu.


Hiasan di dekat meja makan. Konon hiasan sendok dan garpu
melambangkan suami istri dalam hidup rumah tangga.


Diversifikasi pangan, ketika tak ada nasi dan lauk. Pisang adalah mereka.


Sudah berapa lama kau tak kugunakan, wahai meja?



Gitar tak sempurna yang menyempurnakan ingatan-ingatan tentang banyak hal.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.