Skip to main content

Teteh dan Aa

Entah bagaimana cara penulisannya, yang jelas mereka berdua orang Sunda. Umur mereka masing-masing sekitar 40 tahun. Teteh terlihat agak lebih tua, entah kenapa. Sudah lebih dari dua tahun saya menjadi pelanggan setia warung mereka, yang sering disebut “burjoan”.

Burjoan yang satu ini ada di belakang kampus. Sama dengan burjoan yang lain, penjual biasanya berasal dari Kuningan. Ketika saya makan di burjoan, sering sekali saya mendengar mereka saling bercakap-cakap menggunakan bahasa Sunda.

Siang itu Teteh menggunakan jilbab ungu, bicara kepada aa’ dan anaknya. Nadanya menggerutu, di sela-selanya saya mendengar kata hutang, anak kos, nama-nama, dan sebagainya. Saya tertarik mendengarkan, meski saya tidak mengerti artinya.


Tak lama, Teteh membawa nampan berisi dua gelas kopi Good Day dan segelas kopi hitam. Dia mengantarkan minuman-minuman itu ke kamar-kamar kos di depan burjoan. Sementara Aa’ terlihat duduk di samping saya sambil menyalakan rokok.

“Kenapa a’? Pada ngutang ya?”
“Iya tu anak-anak. Padahal Aa’ udah mau anter makanan sama minuman ke kos mereka.
Udah gitu mereka gak mau balikin piring sama gelas, padahal habis makan itu mereka datang ke warung, mereka gak bawa piring yang tadi.
Aa’ yang harus nyari piring-piring sendiri di kos-kosan mereka.”, cerita Aa’ tanpa saya minta.

Aa’ bercerita bagaimana kelakuan mereka yang menguras kesabaran. Pernah suatu kali pukul 1 malam ketika Aa’ sedang menjaga burjoan sendiri, datang anak kos depan yang pesan kopi satu gelas, lalu dia ngeloyor pergi ke kamarnya. Minta diantarkan.

Aa’ berkata dengan sangat heran, 
“Cuma satu gelas, gak mau nunggu! Padahal kan Aa’ sendiri lagi jaga warung, sendirian pula.
Coba bayangin kalau si bos jualan. Udah malam-malam begitu, disuruh antar, utang pula! Memang yang namanya jualan itu bener-bener belajar sabar..” lanjutnya.

Teteh berjalan dari luar. Isi nampan sudah berganti, dari tiga gelas kopi menjadi setumpuk piring lengkap dengan dua pasang sendok dan garpu di atasnya. Semua kotor. “Tadi semua pada bilang: kokTeteh yang antar?” katanya sambil agak tersenyum sinis.

Nampaknya mereka sudah hafal, kalau yang mengantarkan makanan adalah Teteh, itu artinya utang-utang mereka harus segera dibayar. 
Saya tanya ke Teteh,”Utangnya berapa banyak sih , teh?

Aa’ yang menimpali, “Sekarang kami patok, paling banyak utang 20 ribu.” 
“Biasanya kalau pada habis utang tempat teteh trus seminggu gitu gak makan sini lagi, atau nginap tempat teman. Ngilang gitu aja. Ya kami kan khawatir engga dibayar.” sahut Teteh.

Lalu Aa’ bercerita, rupanya pernah ada pengalaman memberikan utang ketika mereka hendak pulang ke Kuningan. Akhirnya hingga mereka pulang ke Kuningan, utang itu tidak terbayar. Pernah juga ada pengalaman teman yang memberikan utang hingga 100 ribu rupiah, akibatnya dia hampir bangkrut. Pengalaman-pengalaman inilah yang membuat mereka enggan untuk memberikan utang dalam waktu yang lama.

“Kenapa tidak dikasih peraturan: ‘maaf, tidak terima utang’ begitu?” saya tanya. Masalahnya beberapa burjoan di dekat kampus-kampus memasang peraturan tersebut. Saya kira peraturan tersebut akan menghindarkan burjoan dari piutang-piutang  yang tidak dibayarkan.

“Teteh juga kasihan, mas, kan kadang memang gak dapet kiriman dari orang tua. Orang sini (penduduk asli kampung tempat warung itu berjualan) mana mau ngasih, ‘orang mana dia’ gitu kata mereka. Tapi ya itu tadi mas, Teteh mau ngerti mereka, tapi mereka juga harus ngerti Teteh.”  ucapnya dengan mimik muka yang jengkel sekaligus kasihan.

Teteh menambahkan bahwa mereka ini (anak kos yang minta makanan diantar; hobi utang; dll.) belum pernah merasakan menderita karena tidak ada uang untuk makan. Mereka hidup enak sekali. “Coba mereka pernah menderita, pasti engga kayak gini. Harusnya kita sama-sama ngerti, kita sama-sama pendatang.”

Lalu mereka kembali berbincang, pakai bahasa Sunda tentu. Lagi-lagi Teteh keluar membawa nampan. Entah berapa piutang yang akan terbayarkan siang itu.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.