29 July 2013

Kebenaran dan Sanksi

"Mau diperiksa? Silahkan saja datang. Paling cuma hasilnya saja dicoret, saya tidak diberi sanksi. Tapi kalau sampai saya dipenjara, saya siap. Lha wong saya bertindak atas nama kebenaran", kata seorang kepala dukuh sambil mengepalkan tangan kanan ke atas.
Oleh: A. R. Sanjaya
Minggiradalah nama yang sejak minggu lalu sering sekali terdengar di telinga saya. Ini bukan tentang kata kerja yang kira-kira bermakna sama dengan "menepi". Minggir yang saya maksud adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Sleman. Letaknya cukup jauh dari rumah orang tua saya di dekat Jalan Godean.
Beberapa hari yang lalu saya ke sana untuk sekadar mencari letak kantor Kecamatan Minggir. Saya agak terkejut, tidak menyangka bahwa untuk mencapai kantor kecamatan itu saya harus melewati jalan aspal di tengah hamparan sawah yang mulai menguning. Jalan aspal itu lurus, kadang bergelombang, dan lebernya kira-kira tiga sampai empat meter.
Kalau dilihat indah ya memang indah, di ujung-ujung jauh sawah itu membentang pegunungan. Namun bayangkan jika saya ke sana pada malam hari, di sawah itu tidak ada satu lampu pun. Pemandangan itu mungkin tidak terlihat, hanya menyisakan gelap.
Tujuan saya ke tempat itu sederhana sekali, saya hanya mengantar pacar untuk melakukan observasi dan wawancara atas sebuah penelitian. Dalam penelitian ini dia menjadi asisten peneliti. Saya tidak begitu mengerti sebetulnya apa yang sedang diteliti, yang saya tahu kami memilih satu warga dari masing-masing desa (kelurahan) di Kecamatan Minggir. Warga yang kami pilih adalah warga yang dikategorikan miskin.
Kami datang pertama kali ke rumah sebuah ibu yang dikategorikan miskin. Dia seorang janda. Melihat data yang ada, saya membayangkan dia adalah ibu-ibu yang sudah tua, bungkuk, memakai jarik, rambut memutih digelung, dan nginang. Ternyata bukan. Kami datang ke rumah, mengetuk pintu--yang belakangan baru kami tahu bahwa itu adalah pintu dapur.
"Monggo mbak, lewat ngajengan," dia mempersilakan kami masuk lewat pintu depan.
Kami berjalan beberapa langkah dan sampai di teras depan yang cukup bagus. Lantainya keramik. Dindingnya halus dan dicat dengan rapi. Saya lalu masuk dan duduk di kursi tamu yang empuk. Lalu wawancara dimulai oleh Yulia, dia sudah menyiapkan poin-poin pertanyaannya dalam selembar kertas.
Oh ya, saat itu saya juga membawa selembar kertas yang berisi tentang indikator kemiskinan:
a.        dalam sehari makan kurang dari 3 kali;
b.       tidak m ampu membeli daging atau ikan atau susu satu kali dalam seminggu;
c.        sumber air minum berupa sumur/mata air tak terlindungi atau sungai atau air hujan;
d.       tidak mampu membeli pakaian baru untuk setiap anggota keluarga satu kali dalam setahun;
e.       luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 (delapan) meter persegi per orang;
f.         lantai bangunan tempat tinggal terluas berupa tanah;
g.        jenis dinding bangunan terluas berupa bambu atau kayu berkualitas rendah;
h.       sumber penerangan utama bukan listrik;
i.         tidak mampu berobat ke puskesmas atau poliklinik jia ada anggota keluarga yang sakit;
j.         tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar (jamban/kakus);
k.       pendidikan kepala keluarga sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah ke bawah;
l.         lapangan pekerjaan utama kepala keluarga adalah petani penggarap atau pekerja bebas dengan upah per bulan kurang dari Upah Minimum Provinsi;
m.     jenis bahan bakar untuk memasak sehari-hari berupa kayu bakar atau arang;
n.       tidak memiliki tabungan atau barang berharga seperti emas, ternak, sepeda motor, tanah atau barang modal lainnya paling sedikit senilai Upah Minimum Provinsi.
Awalnya saya diminta tolong untuk mencocokkan kira-kira apakah orang yang kami kunjungi ini sesuai dengan kriteria itu atau tidak. Namun lama kelamaan saya malas karena tidak mungkin saya bertanya kepada ibu itu “Apakah anda makan 3 kali sehari?” sedangkan rumahnya luas, bertegel/semen, dan bertembok. Baru sampai situ saja refleksi saya tentang indikator kemiskinan.
Dari sana kami lanjut ke rumah kepala dukuh. Menurut informasi dari ibu itu, sang kepala dukuh ini masih muda dan belum lama ini terpilih. Sampai di dekat rumah kepala dukuh kami berhenti sejenak di sebuah pos ronda untuk menyusun pertanyaan. Dari sana kami bisa melihat dengan jelas rumah kepala dukuh.
Di depan rumah itu tampak seorang bapak muda yang rambutnya sudah memutih. Dia bermain petasan bersama anak perempuannya yang masih kecil, kira-kira berusia 5 tahun. Mereka bermain di halaman depan rumah yang sudah diconblock dengan rapi.
Kami datang ke sana dan ternyata memang dialah yang kami cari. Yulia memulai wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disusun tadi. Dilihat dari cara bicara dan apa yang dia bicarakan, saya melihat kepala dukuh ini (kalau tidak salah namanya Bp. Samirudin) adalah orang yang pintar.
Dia bicara dengan lancar dan sistematis. Pemilihan istilah yang dia gunakan juga tepat. Saat itu dia memakai kaos berkerah berwarna hijau muda, celana jeans, jam logam putih di tangan kiri, dan gelang bernada sama dengan jam di tangan kanan.
Persepsi tentang pintar itu kemudian dikuatkan juga dengan ceritanya bahwa dusun ini punya dua lembaga keuangan  yang perputaran uangnya cukup besar. Lembaga yang satu berbasiskan masjid dan menggunakan kata ‘zakat’, lembaga satunya adalah koperasi yang jumlah pinjaman terbesarnya bisa mencapai 20 juta rupiah. Artinya untuk bisa mengatur dan menjaga lembaga-lembaga itu dibutuhkan sistem yang baik dan didukung dengan kemampuan sumber daya manusia yang baik pula.
Selesai dari sana kira-kira pukul 13.00. Kami beranjak ke rumah Bp. Trimo Wiyatno, salah satu warga yang juga dikategorikan miskin. Dia bertempat tinggal di desa yang letaknya agak jauh meski berada dalam satu kecamatan. Kami menemukan rumah dia dengan cukup mudah. Menurut data yang ada dia lahir tahun 1958, artinya tahun ini berusia 55, namun saya lihat belum ada satupun rambutnya yang berwarna putih. Dia juga tampak sehat, meski badannya agak kurus.
Di rumah itu dia tinggal bersama istri dan beberapa orang anaknya yang belum berkeluarga sendiri. Dia memiliki enam orang anak, salah satu dari enam anak itu turut duduk dan mengobrol bersama kami. Hal yang menarik adalah ketika dia bercerita,"Saya sempat 20 tahun tinggal di Plembang." Saya bertanya di mana itu ‘Plembang’, dia menjawab Sumatera.
Baru saya tahu, yang dia maksud adalah ‘Palembang’, hal ini juga dikuatkan dengan akta kelahiran beberapa anaknya yang lahir di Palembang. Kadang begitulah orang Jawa, mengubah-ubah nama supaya mudah diucapkan.
Dari sana kami beranjak ke rumah kepala dukuh yang jaraknya kira-kira 200-300 meter. Rumah kepala dukuh ini sedang direnovasi, penduduk sekitar bilang sedang ada ‘sambatan’. Saya tidak begitu tahu, namun berdasarkan pengalaman saya mengikuti KKN di pedesaan juga, ‘sambatan’ itu semacam meminta bantuan para tetangga untuk sebuah keperluan misalnya membangun rumah, renovasi, dan semacamnya.
Jadi terlihat yang bekerja di situ adalah para tukang bangunan, namun sesungguhnya itu adalah para tetangga sekitar, dan hebatnya, mereka tidak dibayar. Atau jika dibayar, itu hanya ala kadarnya dan seringkali bukan berwujud uang. Begitulah kehidupan di desa.
Yang menarik dari kepala dukuh ini adalah dia adalah seorang wanita. Karena dia wanita, tampaknya wawancara jadi lebih cair. Ibu dukuh ini tidak hanya sekadar menjawab pertanyaan yang diajukan, tapi juga seperti bercerita, mengeluh, atau bahasa anak muda: curcol alias curhat colongan. Dia tidak habis pikir dan tampak sangat kecewa dengan pemerintah Kabupaten Sleman yang seperti melakukan pengacakan ketika membagikan BLSM (dia menyebut dengan ‘balsem’).
Dia berkata sudah mendata ada 46 warga di dusun itu yang dikategorikan miskin, namun yang diberi bantuan hanya 16 orang dan itupun tidak tepat sasaran. Ada seorang yang miskin tapi tidak mendapat, akhirnya dia mengurus sendirian ke kabupaten karena tidak boleh diwakilkan oleh kepala dukuh. Akhirnya dia bisa mendapatkan bantuan yang dibutuhkan.
Meski tampaknya menginspirasi, ternyata tidak semua warga miskin yang tidak mendapatkan bantuan melakukan hal yang serupa. Mereka terima-terima saja. Ada beberapa warga yang merasa sudah cukup tapi mendapat bantuan, akhirnya mereka memberikan uang itu kepada warga yang miskin tapi tidak mendapat bantuan.
Namun ada pula yang enggan berbagi, mereka bilang, “Dhuwit kok dibagi-bagi, wis bejane dhewe-dhewe.
Begitulah kenyataan yang terjadi. Rasanya menjadi sedikit aneh. Di depan rumah yang sedang kami datangi ada pembangunan dengan sistem gotong royong yang dilandasi keikhlasan, sedang di dalamnya kami sedang bicara tentang keserakahan. Keduanya ada di dalam masyarakat yang sama.
Sekitar pukul 15.00 kami berpamitan dan melanjutkan ke desa yang kami lewati dalam perjalanan pulang menuju Jalan Godean. Kami asal saja menanyai seorang ibu yang sedang duduk di depan warung. Yulia bertanya di mana rumah kepala dukuh, ibu itu lalu menjawab dengan ramah. Ada sesuatu yang dilihat Yulia, tapi tidak terlihat oleh saya: ibu itu mengenakan rosario.
Kami datang ke rumah pak dukuh. Cat rumahnya berwarna hijau. Terus terang, saya tidak mengerti bagaimana bentuk rumahnya. Di manakah saya harus mengetuk pintu jika hendak bertamu? Akhirnya dengan cuek kami mendatangi pintu yang terbuka dan mengucap salam. Ada suara bapak-bapak menjawab, tapi tidak kelihatan di mana orangnya. Kami disuruh masuk lalu duduk di kursi tamu.
Saat kami berjalan masuk akhirnya saya tahu di mana bapak itu berada. Dia sedang jongkok di depan motornya.
“Duduk mas, tunggu sebentar, aku lagi mbengkel,’ katanya.
Kami duduk di kursi yang diletakkan seperti di pendapa. Di sudut pendapa sebelah kanan ada sebuah lemari kayu tingginya sekitar 1,5 meter. Di atasnya ada foto Mgr. Ign. Suharyo yang dibiarkan berdiri. Yulia bilang, bapak itu mungkin Katolik. Lalu saya cari-cari simbol lain di dalam ruangan itu: salib, gambar Maria, atau apa. Tapi tidak saya temukan.
Beberapa menit setelah kami duduk dia datang dan duduk di depan kami. Dia mengenakan kaos berkerah warna putih dan bercelana pendek. Badannya kecil, sudah agak botak, dan berkumis. Wawancara pun dimulai. Dia bercerita bahwa selama ini dia sendirilah yang menentukan kepala keluarga manakah yang dikategorikan miskin dan layak mendapat bantuan.
Dia bercerita bagaimana dia mengisi blangko yang disediakan dengan tidak benar supaya warganya masuk dalam kriteria orang miskin dan mendapat bantuan.
Kalau tak isi sesuai dengan yang ada, kabeh ora entuk bantuan. Lha piye, omah neng ndeso kan jembar-jembar. Aku ngisine tak kira-kira sesuai dengan pendapatan sebulane,” jelas pak kepala dukuh kepada kami.
Yulia bertanya apakah tidak ada pihak dari kabupaten yang melakukan pengecekan ulang terhadap apa yang sudah dia tuliskan. Dia menjawab tidak ada pengecekan, sampai ada pengecekan pun dia siap bertanggung jawab.
Awalnya saya agak curiga karena dia berbuat tidak jujur dalam hal ini. Andai kemarin kami sedang wawancara atau semacam melakukan penelusuran ketidakberesan pendataan dalam lingkup dusun, tentu kami terus mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tapi kami tidak bertanya-tanya lagi tentang ketidakjujuran ini.
Dia lalu bercerita banyak tentang warganya. Baru kali ini saya mendapat kesadaran baru bahwa kriteria kemiskinan yang saya tulis di atas tadi memang tidak cukup untuk mengkategorikan sebuah keluarga itu miskin. Ada yang rumah besar, makan 3 kali sehari, memiliki motor, dan sebagainya, namun dia bergaji kecil dan punya 6 orang anak. Pak kepala dukuh melihat keluarga ini layak mendapat bantuan pemerintah. Maka dia menuliskan hal yang tidak sesuai tentang keluarga itu supaya mereka dikategorikan miskin dan mendapat bantuan.
Lalu dia bercerita banyak tentang kehidupannya. Akhirnya kami saling mengetahui bahwa kami punya keyakinan yang sama terhadap gereja Katolik. Jujur saja, meski tidak kenal, rasanya seperti bertemu saudara yang sebelumnya tidak pernah bertemu.
Ini adalah pedukuhan terakhir yang kami kunjungi. Rasanya kunjungan terakhir ini menyisakan pertanyaan yang tak kunjung habis. Dia berbohong, dia melakukan manipulasi data. Tapi dia melakukan itu demi warganya yang memang membutuhkan bantuan. Di satu sisi dia melanggar aturan, di sisi lain dia melampaui aturan untuk kesejahteraan warganya—bukan dirinya sendiri.
Silahkan dinilai sendiri menurut keyakinan dan ilmu dasar yang Anda pelajari. Bagi saya, dia pasti tidak sendirian. Pasti ada juga kejadian yang sama di setiap pedukuhan, entah dengan motif apa. Yang saya tahu, dia mengatakan dirinya sebagai orang yang bertindak atas nama kebenaran, dan atas nama itu pula dia tidak takut terhadap sanksi yang menghadang, seperti kutipan di awal tulisan ini.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain