"Mau diperiksa? Silahkan saja datang. Paling cuma
hasilnya saja dicoret, saya tidak diberi sanksi. Tapi kalau sampai saya
dipenjara, saya siap. Lha wong saya bertindak atas nama kebenaran", kata
seorang kepala dukuh sambil mengepalkan tangan kanan ke atas.
Oleh: A. R. Sanjaya
Minggir—adalah nama yang sejak minggu lalu sering sekali
terdengar di telinga saya. Ini bukan tentang kata kerja yang kira-kira bermakna
sama dengan "menepi". Minggir yang saya maksud adalah nama sebuah
kecamatan di Kabupaten Sleman. Letaknya cukup jauh dari rumah orang tua saya di
dekat Jalan Godean.
Beberapa hari yang lalu saya ke sana untuk sekadar mencari
letak kantor Kecamatan Minggir. Saya agak terkejut, tidak menyangka bahwa untuk
mencapai kantor kecamatan itu saya harus melewati jalan aspal di tengah
hamparan sawah yang mulai menguning. Jalan aspal itu lurus, kadang
bergelombang, dan lebernya kira-kira tiga sampai empat meter.
Kalau dilihat indah ya memang indah, di ujung-ujung jauh
sawah itu membentang pegunungan. Namun bayangkan jika saya ke sana pada malam
hari, di sawah itu tidak ada satu lampu pun. Pemandangan itu mungkin tidak
terlihat, hanya menyisakan gelap.
Tujuan saya ke tempat itu sederhana sekali, saya hanya
mengantar pacar untuk melakukan observasi dan wawancara atas sebuah penelitian.
Dalam penelitian ini dia menjadi asisten peneliti. Saya tidak begitu mengerti
sebetulnya apa yang sedang diteliti, yang saya tahu kami memilih satu warga
dari masing-masing desa (kelurahan) di Kecamatan Minggir. Warga yang kami pilih
adalah warga yang dikategorikan miskin.
Kami datang pertama kali ke rumah sebuah ibu yang
dikategorikan miskin. Dia seorang janda. Melihat data yang ada, saya
membayangkan dia adalah ibu-ibu yang sudah tua, bungkuk, memakai jarik, rambut
memutih digelung, dan nginang. Ternyata bukan. Kami datang ke rumah, mengetuk
pintu--yang belakangan baru kami tahu bahwa itu adalah pintu dapur.
"Monggo mbak, lewat ngajengan," dia mempersilakan
kami masuk lewat pintu depan.
Kami berjalan beberapa langkah dan sampai di teras depan yang
cukup bagus. Lantainya keramik. Dindingnya halus dan dicat dengan rapi. Saya
lalu masuk dan duduk di kursi tamu yang empuk. Lalu wawancara dimulai oleh
Yulia, dia sudah menyiapkan poin-poin pertanyaannya dalam selembar kertas.
Oh ya, saat itu saya juga membawa selembar kertas yang berisi
tentang indikator kemiskinan:
a.
dalam sehari makan kurang dari 3 kali;
b.
tidak m ampu membeli daging atau ikan
atau susu satu kali dalam seminggu;
c.
sumber air minum berupa sumur/mata air
tak terlindungi atau sungai atau air hujan;
d.
tidak mampu membeli pakaian baru untuk
setiap anggota keluarga satu kali dalam setahun;
e.
luas lantai bangunan tempat tinggal
kurang dari 8 (delapan) meter persegi per orang;
f.
lantai bangunan tempat tinggal terluas
berupa tanah;
g.
jenis dinding bangunan terluas berupa
bambu atau kayu berkualitas rendah;
h.
sumber penerangan utama bukan listrik;
i.
tidak mampu berobat ke puskesmas atau
poliklinik jia ada anggota keluarga yang sakit;
j.
tidak memiliki fasilitas tempat buang
air besar (jamban/kakus);
k.
pendidikan kepala keluarga sekolah
dasar/madrasah ibtidaiyah ke bawah;
l.
lapangan pekerjaan utama kepala keluarga
adalah petani penggarap atau pekerja bebas dengan upah per bulan kurang dari
Upah Minimum Provinsi;
m.
jenis bahan bakar untuk memasak
sehari-hari berupa kayu bakar atau arang;
n.
tidak memiliki tabungan atau barang
berharga seperti emas, ternak, sepeda motor, tanah atau barang modal lainnya
paling sedikit senilai Upah Minimum Provinsi.
Awalnya saya diminta tolong untuk mencocokkan kira-kira
apakah orang yang kami kunjungi ini sesuai dengan kriteria itu atau tidak.
Namun lama kelamaan saya malas karena tidak mungkin saya bertanya kepada ibu
itu “Apakah anda makan 3 kali sehari?” sedangkan rumahnya luas, bertegel/semen,
dan bertembok. Baru sampai situ saja refleksi saya tentang indikator
kemiskinan.
Dari sana kami lanjut ke rumah kepala dukuh. Menurut informasi
dari ibu itu, sang kepala dukuh ini masih muda dan belum lama ini terpilih. Sampai
di dekat rumah kepala dukuh kami berhenti sejenak di sebuah pos ronda untuk
menyusun pertanyaan. Dari sana kami bisa melihat dengan jelas rumah kepala
dukuh.
Di depan rumah itu tampak seorang bapak muda yang rambutnya
sudah memutih. Dia bermain petasan bersama anak perempuannya yang masih kecil,
kira-kira berusia 5 tahun. Mereka bermain di halaman depan rumah yang sudah
diconblock dengan rapi.
Kami datang ke sana dan ternyata memang dialah yang kami
cari. Yulia memulai wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disusun
tadi. Dilihat dari cara bicara dan apa yang dia bicarakan, saya melihat kepala
dukuh ini (kalau tidak salah namanya Bp. Samirudin) adalah orang yang pintar.
Dia bicara dengan lancar dan sistematis. Pemilihan istilah
yang dia gunakan juga tepat. Saat itu dia memakai kaos berkerah berwarna hijau
muda, celana jeans, jam logam putih di tangan kiri, dan gelang bernada sama
dengan jam di tangan kanan.
Persepsi tentang pintar itu kemudian dikuatkan juga dengan
ceritanya bahwa dusun ini punya dua lembaga keuangan yang perputaran uangnya cukup besar. Lembaga yang
satu berbasiskan masjid dan menggunakan kata ‘zakat’, lembaga satunya adalah
koperasi yang jumlah pinjaman terbesarnya bisa mencapai 20 juta rupiah. Artinya
untuk bisa mengatur dan menjaga lembaga-lembaga itu dibutuhkan sistem yang baik
dan didukung dengan kemampuan sumber daya manusia yang baik pula.
Selesai dari sana kira-kira pukul 13.00. Kami beranjak ke
rumah Bp. Trimo Wiyatno, salah satu warga yang juga dikategorikan miskin. Dia
bertempat tinggal di desa yang letaknya agak jauh meski berada dalam satu
kecamatan. Kami menemukan rumah dia dengan cukup mudah. Menurut data yang ada
dia lahir tahun 1958, artinya tahun ini berusia 55, namun saya lihat belum ada
satupun rambutnya yang berwarna putih. Dia juga tampak sehat, meski badannya
agak kurus.
Di rumah itu dia tinggal bersama istri dan beberapa orang
anaknya yang belum berkeluarga sendiri. Dia memiliki enam orang anak, salah
satu dari enam anak itu turut duduk dan mengobrol bersama kami. Hal yang menarik adalah ketika dia bercerita,"Saya sempat 20 tahun tinggal di Plembang." Saya
bertanya di mana itu ‘Plembang’, dia menjawab Sumatera.
Baru saya tahu, yang dia maksud adalah ‘Palembang’, hal ini
juga dikuatkan dengan akta kelahiran beberapa anaknya yang lahir di Palembang. Kadang
begitulah orang Jawa, mengubah-ubah nama supaya mudah diucapkan.
Dari sana kami beranjak ke rumah kepala dukuh yang jaraknya
kira-kira 200-300 meter. Rumah kepala dukuh ini sedang direnovasi, penduduk
sekitar bilang sedang ada ‘sambatan’. Saya tidak begitu tahu, namun berdasarkan
pengalaman saya mengikuti KKN di pedesaan juga, ‘sambatan’ itu semacam meminta
bantuan para tetangga untuk sebuah keperluan misalnya membangun rumah,
renovasi, dan semacamnya.
Jadi terlihat yang bekerja di situ adalah para tukang
bangunan, namun sesungguhnya itu adalah para tetangga sekitar, dan hebatnya,
mereka tidak dibayar. Atau jika dibayar, itu hanya ala kadarnya dan seringkali
bukan berwujud uang. Begitulah kehidupan di desa.
Yang menarik dari kepala dukuh ini adalah dia adalah seorang
wanita. Karena dia wanita, tampaknya wawancara jadi lebih cair. Ibu dukuh ini
tidak hanya sekadar menjawab pertanyaan yang diajukan, tapi juga seperti
bercerita, mengeluh, atau bahasa anak muda: curcol alias curhat colongan. Dia tidak
habis pikir dan tampak sangat kecewa dengan pemerintah Kabupaten Sleman yang
seperti melakukan pengacakan ketika membagikan BLSM (dia menyebut dengan ‘balsem’).
Dia berkata sudah mendata ada 46 warga di dusun itu yang
dikategorikan miskin, namun yang diberi bantuan hanya 16 orang dan itupun tidak
tepat sasaran. Ada seorang yang miskin tapi tidak mendapat, akhirnya dia
mengurus sendirian ke kabupaten karena tidak boleh diwakilkan oleh kepala
dukuh. Akhirnya dia bisa mendapatkan bantuan yang dibutuhkan.
Meski tampaknya menginspirasi, ternyata tidak semua warga
miskin yang tidak mendapatkan bantuan melakukan hal yang serupa. Mereka terima-terima
saja. Ada beberapa warga yang merasa sudah cukup tapi mendapat bantuan,
akhirnya mereka memberikan uang itu kepada warga yang miskin tapi tidak
mendapat bantuan.
Namun ada pula yang enggan berbagi, mereka bilang, “Dhuwit
kok dibagi-bagi, wis bejane dhewe-dhewe.”
Begitulah kenyataan yang terjadi. Rasanya menjadi sedikit
aneh. Di depan rumah yang sedang kami datangi ada pembangunan dengan sistem
gotong royong yang dilandasi keikhlasan, sedang di dalamnya kami sedang bicara tentang
keserakahan. Keduanya ada di dalam masyarakat yang sama.
Sekitar pukul 15.00 kami berpamitan dan melanjutkan ke desa
yang kami lewati dalam perjalanan pulang menuju Jalan Godean. Kami asal saja
menanyai seorang ibu yang sedang duduk di depan warung. Yulia bertanya di mana
rumah kepala dukuh, ibu itu lalu menjawab dengan ramah. Ada sesuatu yang
dilihat Yulia, tapi tidak terlihat oleh saya: ibu itu mengenakan rosario.
Kami datang ke rumah pak dukuh. Cat rumahnya berwarna hijau. Terus
terang, saya tidak mengerti bagaimana bentuk rumahnya. Di manakah saya harus
mengetuk pintu jika hendak bertamu? Akhirnya dengan cuek kami mendatangi
pintu yang terbuka dan mengucap salam. Ada suara bapak-bapak menjawab, tapi
tidak kelihatan di mana orangnya. Kami disuruh masuk lalu duduk di kursi tamu.
Saat kami berjalan masuk akhirnya saya tahu di mana bapak itu
berada. Dia sedang jongkok di depan motornya.
“Duduk mas, tunggu sebentar, aku lagi mbengkel,’ katanya.
Kami duduk di kursi yang diletakkan seperti di pendapa. Di sudut
pendapa sebelah kanan ada sebuah lemari kayu tingginya sekitar 1,5 meter. Di atasnya
ada foto Mgr. Ign. Suharyo yang dibiarkan berdiri. Yulia bilang, bapak itu
mungkin Katolik. Lalu saya cari-cari simbol lain di dalam ruangan itu: salib,
gambar Maria, atau apa. Tapi tidak saya temukan.
Beberapa menit setelah kami duduk dia datang dan duduk di
depan kami. Dia mengenakan kaos berkerah warna putih dan bercelana pendek. Badannya
kecil, sudah agak botak, dan berkumis. Wawancara pun dimulai. Dia bercerita
bahwa selama ini dia sendirilah yang menentukan kepala keluarga manakah yang
dikategorikan miskin dan layak mendapat bantuan.
Dia bercerita bagaimana dia mengisi blangko yang disediakan
dengan tidak benar supaya warganya masuk dalam kriteria orang miskin dan
mendapat bantuan.
“Kalau tak isi sesuai dengan yang ada, kabeh ora entuk
bantuan. Lha piye, omah neng ndeso kan jembar-jembar. Aku ngisine tak kira-kira
sesuai dengan pendapatan sebulane,” jelas pak kepala dukuh kepada kami.
Yulia bertanya apakah tidak ada pihak dari kabupaten yang
melakukan pengecekan ulang terhadap apa yang sudah dia tuliskan. Dia menjawab
tidak ada pengecekan, sampai ada pengecekan pun dia siap bertanggung jawab.
Awalnya saya agak curiga karena dia berbuat tidak jujur dalam
hal ini. Andai kemarin kami sedang wawancara atau semacam melakukan penelusuran
ketidakberesan pendataan dalam lingkup dusun, tentu kami terus mengejar dengan
pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tapi kami tidak bertanya-tanya lagi tentang
ketidakjujuran ini.
Dia lalu bercerita banyak tentang warganya. Baru kali ini
saya mendapat kesadaran baru bahwa kriteria kemiskinan yang saya tulis di atas
tadi memang tidak cukup untuk mengkategorikan sebuah keluarga itu miskin. Ada yang
rumah besar, makan 3 kali sehari, memiliki motor, dan sebagainya, namun dia
bergaji kecil dan punya 6 orang anak. Pak kepala dukuh melihat keluarga ini
layak mendapat bantuan pemerintah. Maka dia menuliskan hal yang tidak sesuai
tentang keluarga itu supaya mereka dikategorikan miskin dan mendapat bantuan.
Lalu dia bercerita banyak tentang kehidupannya. Akhirnya kami
saling mengetahui bahwa kami punya keyakinan yang sama terhadap gereja Katolik.
Jujur saja, meski tidak kenal, rasanya seperti bertemu saudara yang sebelumnya
tidak pernah bertemu.
Ini adalah pedukuhan terakhir yang kami kunjungi. Rasanya kunjungan
terakhir ini menyisakan pertanyaan yang tak kunjung habis. Dia berbohong, dia
melakukan manipulasi data. Tapi dia melakukan itu demi warganya yang memang
membutuhkan bantuan. Di satu sisi dia melanggar aturan, di sisi lain dia
melampaui aturan untuk kesejahteraan warganya—bukan dirinya sendiri.
Silahkan dinilai sendiri menurut keyakinan dan ilmu dasar yang
Anda pelajari. Bagi saya, dia pasti tidak sendirian. Pasti ada juga kejadian
yang sama di setiap pedukuhan, entah dengan motif apa. Yang saya tahu, dia
mengatakan dirinya sebagai orang yang bertindak atas nama kebenaran, dan atas
nama itu pula dia tidak takut terhadap sanksi yang menghadang, seperti kutipan
di awal tulisan ini.
No comments:
Post a Comment