Saya mau berbagi cerita tentang tugas
akhir. Kebetulan saya mengangkat isu demokrasi deliberatif. Ceritanya saya
meneliti komentar-komentar pembaca di Detik.com, Kompas.com, dan VIVAnews
tentang berita-berita polemik Qanun Lambang dan Bendera Aceh sekitar bulan
Maret-April 2013 lalu.
Tulisan tentang tugas akhir ini mungkin
terdiri dari beberapa tulisan yang tidak bersambung. Kalau ingat dan sedang
ingin nulis, baru saya menuliskan di blog.
Malam ini (22/9) saya baca
komentar-komentar yang di Kompas.com, setelah beberapa waktu lalu saya membaca
yang di Detik.com. Di dalam komentar-komentar itu banyak orang yang mendukung
Aceh melepaskan diri dari NKRI dengan alasan sejarah Aceh yang sangat berjasa
bagi Indonesia pada jaman kemerdekaan, kolonialisasi orang Jawa, dsb. Sedangkan
banyak juga yang menghujat orang-orang Aceh (mungkin lebih tepatnya orang Aceh
yang menginginkan kemerdekaan) karena tidak nasionalis, NKRI Harga Mati, dan
sebagainya.
Di antara orang-orang yang menghujat
Aceh itu sangat banyak ditemui komentar yang menghubung-hubungkan masalah ini
dengan bencana tsunami akhir tahun 2004 lalu. Contohnya seperti yang saya kutip dari salah satu komentar dari berita di Kompas.com ini:
Namun yang berbeda adalah di Detik.com, kata tsunami diganti (mungkin oleh redaksi) dengan tanda bintang (*), sedangkan di Kompas.com tetap ditulis tsunami -atau dieja sunami seperti komentar di atas.
Ary DaryonoSelasa, 16 April 2013 | 10:21 WIBMasyarakat Aceh seharusnya ingat kejadian sunami itu adalah azab dari Alloh SWT karena manusia di sana sudah melampaui batas konflik 30 tahun. dan sekarang bendera masih di miripkan dgn Gam...apakah ingin ada sunami ke dua wahai rakyat Aceh? istigfar...
Namun yang berbeda adalah di Detik.com, kata tsunami diganti (mungkin oleh redaksi) dengan tanda bintang (*), sedangkan di Kompas.com tetap ditulis tsunami -atau dieja sunami seperti komentar di atas.
Masing-masing dari Detik.com dan
Kompas.com menuliskan dalam website bahwa mereka (redaksi) berhak untuk
mengedit atau menghapus pesan yang tidak sesuai dengan aturan atau berpotensi
menimbulkan konflik. Saya menduga kata "tsunami" dipandang oleh
Detik.com sebagai kata yang menghadirkan memori, emosi, dan kesedihan yang
melanda rakyat Aceh kala itu. Agar tidak menghadirkan memori itu dan memicu
konflik, maka kata itu diberi tanda bintang, meski ada juga pembaca yang lalu
menggantinya dengan kata "stunami" (mungkin agar tidak diganti dengan
tanda bintang). Menurut saya masuk akal. Sedangkan saya melihat banyak tulisan
"Komentar dihapus karena tidak sesuai ketentuan" di Kompas.com.
Ya, itu salah satu cara masing-masing
media membatasi konten di dalamnya. Besok lagi atau kapan-kapan saya akan
menulis hal lain.
No comments:
Post a Comment