Skip to main content

Darah Kucing

Lelaki itu bernama Danang Sulistyo, pemilik akun Facebook bernama Danang Sutowijoyo dan Twitter @dominico_danang. Dengar-dengar kedua akun ini sudah tidak aktif. Akhir-akhir ini dia tenar, karena memposting foto di jejaring sosial tentang anak kucing yang dia tembak. Foto anak kucing yang mati dia tembak ada di mana-mana (silakan googling), tapi yang menarik adalah caption yang menyertai foto:


"Anak kucing ini meregang nyawa di ujung laras Sharp TIGER baru saya. Kucing naas ini menjadi korban keganasan proyektil kaliber 4,5 mm yang dilesatkan senapan baru saya. Kucing ini saya tembak dari jarak sekitar 20 meter dengan kekuatan 12 kali pompaan. Hasilnya, peluru menembus bagian rahang kucing dan melaju terus hingga keluar dari wajah kucing. Kucing sempat mengalami kejang-kejang dan akhirnya mati 2 menit kemudian. 1 shot 1 kill. hahahaha....,"

Akibat dari menembak dan (lebih-lebih) mengupload foto mayat kucing itu di jejaring sosial ini menurut saya Danang mendapatkan sekaligus kehilangan beberapa hal.

Pertama, dia menjadi korban bullying para pengguna jejaring sosial, terutama yang memiliki kedekatan emosional dengan hewan. Banyak yang mengutuk Danang karena dianggap kejam, membunuh hewan yang tak berdosa dengan cara sadis. Ada yang terang-terangan mendoakan agar kelak Danang menuju ke keabadian dengan cara serupa. Pokoknya banyak sekali kutukan, cacian, dan makian yang harus diterima Danang.

Kedua, dia kehilangan pekerjaan. Tempo.co memberitakan Danang dikeluarkan dari pekerjaannya di bidang telekomunikasi. Hal ini dilakukan oleh perusahaan supaya mereka tidak ikut tersangkut permasalahan ini. Namun rasanya Danang sendiri sudah siap untuk menghadapi serangkaian ‘serangan’ itu. Dalam salah satu artikel berita dia bilang siap dan meminta orang-orang untuk meneror dia secara langsung, bukan kepada istri dan keluarganya.

Ketiga, dia dilaporkan ke polisi oleh Animal Defender. Dia dilaporkan ke Polres Sleman atas pelanggaran terhadap isi KUHP Nomor 302 ayat 2. Ayat itu berisi tentang tuntutan yang dapat diberikan atas tindak penganiayaan terhadap hewan.

Keempat, dia mendapatkan julukan baru. Tempo menjuluki dia “Raja tega”, media lain ada yang menyebut “pembunuh kucing” dan julukan serupa. Julukan ini menyudutkan Danang sebagai orang yang menembak kucing.

Kelima, dia mendapatkan protes melalui petisi online via change.org. Silakan dicek sendiri, bila terpanggil, turutlah menandatangani petisi.

Keenam, dia diduga mengalami gangguan kejiwaan karena mengunggah foto yang menggambarkan sadisme. Tindakan ini dianggap tidak wajar dan mengindikasikan adanya dendam di masa lalu yang tidak terlampiaskan (lalu dilampiaskan pada kucing) atau ada motivasi ingin terlihat gagah saja. Keduanya adalah indikasi adanya masalah kejiwaan yang selain tidak normal, harus segera ditangani.

Ketika ditanya wartawan “Apa motivasi membunuh kucing?” dia menjawab karena kucing yang dia tembak itu suka mencuri. Untuk kucing yang terakhir ini dikisahkan dia mencuri makanan yang baru saja selesai dimasak oleh mertuanya.

Lalu “Kenapa diupload di media sosial?” Nah, ini yang saya tidak tahu. Dugaan saya adalah karena dia ingin terlihat gagah, tega, laki, dan punya senjata angin yang pelurunya buatan Jerman.

Pada satu artikel berita Danang merasa bahwa kucing bukan merupakan hewan yang dilindungi. Dia juga mengungkapkan bahwa tindakan ini  adalah tindakan spontan yang dia lakukan. Bahkan dia cerita kalau menguburkan bangkai sembilan kucing yang sudah dia habisi di halaman rumah.

Ada beberapa hal yang ingin saya ungkapkan melalui tulisan ini. Pertama saya harus jujur, saya tidak suka kucing, tapi pembunuhan atas nama iseng atau dendam tetap tidak bisa saya terima dengan baik. Saya punya pengalaman buruk dengan kucing yang bisa masuk ke rumah, rasanya jorok, kotor, dan seperti kebobolan. Kucing dalam pikiran saya adalah hewan yang manja, senang mencuri, dan sifat lain yang membuat kucing tidak sebaik anjing.

Kedua, saya menyesal Danang harus mengunggah foto itu ke media sosial. Sungguh. Menurut saya foto tersebut tidak seharusnya diunggah. Andai dia kala itu menahan nafsunya untuk menggunggah, mungkin hingga kini dia akan masih meneruskan perburuannya terhadap kucing dengan tenang. Saya pernah mendapat cerita dari keluarga, dulu ada juga yang mengejar kucing pencuri hingga masuk ke dalam kolong tempat tidur hingga terjebak. Lalu cara membunuhnya adalah dengan mendorong papan atau kayu yang menjepit kucing itu sampai mati. Menurut saya cara ini lebih sadis daripada menembak. Untung saat itu tidak difoto lalu diunggah ke media sosial.

Ketiga, ini adalah kegelisahan pribadi saya. Saya termasuk orang yang tidak tegaan melihat binatang disembelih: sapi atau kambing. Termasuk benar-benar tidak mau melihat bagaimana anjing dibunuh (dengan cara dipukul kepalanya, digantung di leher/dicekik, atau ditenggelamkan di kolam) untuk dimasak dagingnya. Melihat kekejaman terhadap hewan itu rasanya ada yang berontak di dalam diri. Tapi setiap saya ingin berkoar-koar saya selalu teringat akan nasib rakyat kecil di sepanjang Kali Code, di Wonosari, di lingkungan rumah tinggal, orang Papua yang disiksa tentara, orang keturunan Cina yang diperlakukan keji beberapa tahun lalu, hingga nyawa manusia yang harus dikorbankan dalam berbagai konflik. Mereka semua manusia, dan saya tidak bisa melakukan apa-apa ketika mereka diperlakukan begitu. Pantaskah saya justru beraksi ketika yang mendapat perlakuan buruk adalah hewan, sedangkan perlakuan buruk pada manusia tidak pernah saya suarakan?

Pertanyaan itu terus mengusik hingga ketika melihat perlakuan buruk kepada manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan hidup secara keseluruhan, saya tidak bersuara apa-apa.

Semoga tindakan Danang ini menjadi pelajaran bagi pembawa senapan yang lain: foto hasil buruan anda jangan diupload di media sosial. Semoga urusannya cepat kelar mas.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.