Skip to main content

Letupan Rasa

R
asa-rasanya dunia ini makin absurd dan palsu. Lihatlah media, alat pembentuk realitas di benak publik yang diperkosa pemiliknya. Lihatlah media sosial, tempat berbagai macam kebencian disuburkan.


'Rasa' ini mungkin juga dialami oleh orang-orang tua jaman dulu.
Konon orang Jawa dulu senang bertanya

"Sejatine apa?"

Segala hal rasanya harus dipertanyakan begitu.

"Sejatine menungsa iku apa?"
"Sejatine alam donya iku apa?"

Disusul pencarian lain yang diawali dengan pertanyaan, lalu dilanjutkan dengan merenungkan rasa.

Menurut cerita sih mereka lalu semedi.
Mereka masuk jauh ke dalam diri.
Memahami diri yang kecil, untuk memahami dunia yang besar.
Mereka bertanya sendiri, merenungkan jawaban sendiri.

Di dalam semedi merasakan dan mengamati tiap rasa yang muncul.
Rasa ya, bukan letupan rasa.
Letupan rasa itu mungkin absurd, tapi tidak palsu.
Tidak palsu, tapi rasanya juga tidak sejati.
Atau bukan jawaban dari "Sejatine rasa iku apa?"

Letupan rasa adalah rasa yang bukan rasa yang sejati.
Rasanya sih begitu.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.