23 June 2014

Sepenggal Kisah Survivor *

Menjadi jurnalis adalah keputusan yang agaknya terlalu terburu-buru bagi saya yang baru saja melepas toga. Memang, saya cukup menikmati kegiatan berpikir dan menulis. Namun, setelah saya alami beberapa waktu menjadi (calon) jurnalis, saya merasa tidak berjodoh dengan pekerjaan ini.


Awalnya, di bangku kuliah saya mengikuti pers kampus tingkat fakultas yang terbit tiga bulan sekali. Di sela-sela tugas kuliah dan berbagai kegiatan lain, kami menulis hal-hal yang menarik dan sesuai dengan minat kami. Ketika sudah bekerja di harian, aktivitas menulis tidak lagi saya temukan sebagai tempat untuk mengeksplor pikiran saya ke hal-hal yang saya minati—sangat subjektif memang.

Dulu saya wawancara dosen, wakil rektor, dokter, ahli gizi, dan sebagainya. Ketika sudah bekerja menjadi reporter saya kini bisa bertemu langsung dengan menteri dan dirjen di bawah koordinasinya. Saya mewawancarai pemimpin-pemimpin perusahaan. Saya berbincang dengan pimpinan-pimpinan asosiasi perusahaan. Membanggakan? Mungkin saja. Namun, bukan itu esensi dari pekerjaan ini, dan jelas bukan itu yang saya kejar dalam hidup saya.

Tekanan demi tekanan saya rasakan. Saya dituntut menulis dengan logis, lengkap, runtut, relevan, tidak ketinggalan isu dengan perusahaan media lain (kebobolan), dan–yang sulit saya pahami—topik tulisan saya dibutuhkan dan menarik untuk pembaca. Untuk itu saya disarankan baca minimal tiga harian lain tiap hari agar paham isu. Selain itu saya harus baca juga harian edisi-edisi yang lalu. Belum ditambah dengan batas waktu pengiriman tulisan tiap sore yang selalu bikin berkeringat dan sakit kepala. Lalu pada malam harinya saya diminta untuk membuat budget tulisan esok hari.

<< >>

>>Apakah itu hal buruk?
Dengan tegas saya katakan tidak. Tekanan redaksional yang seperti itu sama sekali bukan hal yang buruk bagi calon jurnalis, apalagi jurnalis harian yang sudah memiliki nama baik di kalangan pembaca. Kewajiban-kewajiban itu membentuk calon jurnalis kelak menjadi jurnalis yang pandai dan handal—seperti kawan-kawan saya di Karet Tengsin sana. Baja berkualitas tinggi dibentuk dengan panas dan tekanan yang luar biasa tinggi juga, bukan?

Masalahnya, saya merasa berbeda dengan mereka. Tentang bakat dan kemampuan menulis, mungkin kami relatif setara. Demikian juga dengan kemampuan berpikir dan prediksi kemampuan kerja (dilihat dari hasil psikotes). Lalu, apa yang berbeda? Saya hampir yakin, yang membedakan saya dengan mereka adalah masalah minat. Awalnya saya menyepelekan minat. Saya telanjur percaya diri—atau lebih tepat disebut pongah—dengan kemampuan. “Asal ada kemampuan, pasti bisa dijalani,” pikir saya waktu itu.

Ternyata kepongahan itu tak membawa berkah, kawan. Pengalaman selama beberapa minggu ini dengan keras dan menyakitkan mengajarkan kepada saya: selama tidak ada minat, kemampuan itu NOL. Ini sungguh-sungguh saya alami. Saya baca berita-berita sampai tengah malam. Saya pelajari undang-undang terkait hingga mata nanar memandang layar komputer. Hasilnya? Saya hanya paham beberapa persen saja. Hal ini membuat saya tidak produktif, tidak mampu menunjukkan kualitas kerja yang baik sebagai karyawan perusahaan media.

Lebih menyedihkan lagi, sebagai manusia, saya menjadi tidak mampu memberikan yang terbaik yang ada di diri saya.

Saya sering berada di keadaan ketika masuk kantor dengan kepala yang kosong (meski sudah membaca), lalu saya menemukan kawan-kawan saya sudah dengan giat mengetik di depan komputer masing-masing. Tak lama kemudian mereka menelepon beberapa narasumber untuk wawancara, lalu lanjut menulis lagi. Mereka tampak begitu menikmati pekerjaan ini. Lalu saya memandang diri saya sendiri. Saya seperti pendaki gunung, lengkap dengan “kulkas” di pundak, yang berjalan perlahan menikmati aspal di antara para pelari marathon yang berlari dengan ringan.

>>Tersesat
Saya harus segera sadar, saya sedang tersesat. Salah jalur. Banyak orang bilang: belajarlah dari kesalahan. Saya ingin menambahkan: belajarlah dari kesalahan orang lain. Kadang-kadang belajar dari kesalahan yang kita lakukan sendiri itu harganya terlalu mahal, belum lagi berapa lama waktu yang terbuang untuk berada dalam kondisi salah.

Untung saya belum tersesat terlalu jauh. Waktu yang saya gunakan untuk menapaki jalur yang salah juga belum terlalu banyak. By the way, ingatkah pada pelajaran ketika sedang tersesat ketika di hutan atau ketika mendaki?

S T O P
Sit—Think—Observe—Plan

Saya coba menerapkan pelajaran yang saya dapat ketika jadi anggota pecinta alam ketika SMA. Memang sih saya tidak akan secara ekstrim mati kedinginan ketika tersesat dalam pekerjaan. Namun, ketika seseorang sudah tidak mendapatkan hidupnya lagi, apakah itu bukan berarti mati?

Selanjutnya saya duduk, istirahat, sambil minum dan makan bekal yang saya bawa. Saya diam dan berpikir jalur apa saja yang sudah saya lewati, buah hutan daun apa yang sudah saya petik untuk survival ketika bekal saya habis, dan apakah dari bawah saya memang merencanakan untuk berjalan di jalur ini? Lalu saya lihat sekitar, mencari ranting yang patah atau bekas injakan sepatu pendaki lain. Lihat ke atas, di mana letak puncak yang sedang saya tuju. Lihat kompas atau matahari, berjalan ke arah manakah saya sekarang ini. Dari situ saya lalu merencakan setelah ini saya akan bagaimana.

Selanjutnya, tentu saja adalah action. Saya melakukan hal-hal yang diperlukan untuk memenuhi rencana saya. Di antaranya adalah berteriak memanggil bantuan dan menyalakan “kembang api” agar orang lain tahu di mana posisi saya. Belum semua saya lakukan, masih ada banyak tahap untuk sampai ke sana. Meski begitu, langkah pertama sudah dijalani untuk keluar dari ketersesatan ini.

>>Tidak ada yang sia-sia
Lalu, apakah pengalaman tersesat ini adalah sebuah kesia-siaan? Terdengar klise dan normatif sebagai pekerja yang akan mengajukan resign, tapi lagi-lagi jawabannya adalah tidak. Memang menjadi sia-sia ketika hanya bisa menyalahkan situasi atau bahkan mengutuk diri sendiri. Namun, harus saya akui, pengalaman ini terlalu berharga untuk disia-siakan dengan kedua cara itu.

Pertama, saya belajar menulis dengan lebih baik di sini. Saya tidak mengklaim tulisan saya kini menjadi lebih baik dari puluhan tulisan sebelumnya, silakan anda yang menilai. Namun setidaknya saya jadi lebih tahu bagaimana cara menulis yang baik. Ini berkat kebaikan redaktur saya, Maria Yuliana Benyamin.** Banyak yang memandang beliau sebagai orang yang keras dan perfeksionis—saya kadang juga berpikir begitu—tapi saya sadar ada tujuan baik di belakangnya.

Kedua, saya mendapati orientasi hidup yang lebih jelas setelah melewati masa ini. Dulu saya anti dengan ungkapan: kalau kamu tidak tahu apa yang kamu inginkan, setidaknya kamu tahu apa yang tidak kamu inginkan. Sekarang saya jadi lebih menerima ungkapan itu—meski tidak sepenuhnya sepakat. Orientasi hidup ini bisa saja tentang tipe pekerjaan, lingkungan kota untuk hidup, serta karakter orang yang akan saya temui untuk mendapatkan hidup saya kembali.

Terdengar begitu egois dan tidak profesional ya? Sudah dapat gaji, bekerja tidak produktif dan cenderung asal-asalan, lalu resign dengan mendapatkan pelajaran-pelajaran yang begitu berharga untuk diri sendiri—bukan untuk perusahaan. Namun biarlah orang menilai apapun yang jadi pandangan mereka, tetap yakin saja kalau ada hal-hal yang lebih besar dari penilaian orang kepada kita. Hal-hal besar itulah yang layak kita jadikan perhatian.

<<  >>

Ketika mencurahkan hati pada tulisan ini, saya sedang berada di kamar kos yang berantakan oleh berkas-berkas untuk rencana selanjutnya. Oh ya, hari ini hari Senin yang tidak semangat dan tanpa motivasi bekerja, sama persis seperti hari-hari sebelumnya. Saya tak henti-hentinya menyemangati diri untuk aktif mencari isu dan menghubungi narasumber, lalu menulis berita dan mengirim ke redaktur. Setidaknya di saat-saat terakhir bekerja ini saya meninggalkan kesan sebagai pekerja yang baik—kalau belum terlambat. Semoga semangat ini terwujud, meski saya tahu, menulis hal lain atau menghabiskan waktu dengan baca buku adalah pilihan yang jauh lebih nikmat.

>>Akhirnya..
Senin depan adalah hari ketika saya harus menyerahkan kartu pegawai, buku Perjanjian Kerja Bersama, kartu asuransi pegawai, dan tulisan terakhir yang entah akan dimuat atau tidak. Hari itu adalah hari ketika—walaupun sangat emoh melakukannya—saya perlu berpamitan kepada redaktur, sekretariat redaksi, dan tentu saja, kawan-kawan reporter. Semoga saya tidak harus menjabat tangan mereka satu persatu. Saya malu.

_____
*
Survivor (menurut google translate): a person who survives, esp. a person remaining alive after an event in which oters have died

**
Mbak Maria, terimakasih sudah mengeluarkan energi lebih untuk membimbing manusia seperti saya. Maaf saya merepotkan dan mengesalkan. Saya akan selalu ingat ketika mbak Maria bilang, “Kebanggaan menjadi redaktur adalah ketika para reporter di bawahnya menjadi orang yang diperebutkan oleh banyak pihak.”

Bagaimana jika ‘redaktur’ diganti dengan ‘guru’, dan ‘reporter’ diganti dengan ‘murid’? Jadi mbak Maria akan selalu menjadi orang yang digugu dan ditiru, sedangkan saya akan selalu jadi pribadi yang selalu belajar dari mbak Maria dan ‘Maria-Maria’ yang lain.

Semoga mbak Maria selalu mengingat saya sebagai manusia yang mau belajar, meski kini sudah tidak lagi belajar di tempat mbak Maria mengajar. Saya selalu berdoa untuk kemurahan hati Tuhan yang tak pernah berhenti memberkati mbak Maria sekeluarga.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain