Menjadi jurnalis adalah
keputusan yang agaknya terlalu terburu-buru bagi saya yang baru saja melepas
toga. Memang, saya cukup menikmati kegiatan berpikir dan menulis. Namun,
setelah saya alami beberapa waktu menjadi (calon) jurnalis, saya merasa tidak
berjodoh dengan pekerjaan ini.
Awalnya, di bangku kuliah
saya mengikuti pers kampus tingkat fakultas yang terbit tiga bulan sekali. Di
sela-sela tugas kuliah dan berbagai kegiatan lain, kami menulis hal-hal yang
menarik dan sesuai dengan minat kami. Ketika sudah bekerja di harian, aktivitas
menulis tidak lagi saya temukan sebagai tempat untuk mengeksplor pikiran saya
ke hal-hal yang saya minati—sangat subjektif memang.
Dulu saya wawancara
dosen, wakil rektor, dokter, ahli gizi, dan sebagainya. Ketika sudah bekerja
menjadi reporter saya kini bisa bertemu langsung dengan menteri dan dirjen di
bawah koordinasinya. Saya mewawancarai pemimpin-pemimpin perusahaan. Saya
berbincang dengan pimpinan-pimpinan asosiasi perusahaan. Membanggakan? Mungkin
saja. Namun, bukan itu esensi dari pekerjaan ini, dan jelas bukan itu yang saya
kejar dalam hidup saya.
Tekanan demi tekanan saya
rasakan. Saya dituntut menulis dengan logis, lengkap, runtut, relevan, tidak
ketinggalan isu dengan perusahaan media lain (kebobolan), dan–yang sulit saya
pahami—topik tulisan saya dibutuhkan dan menarik untuk pembaca. Untuk itu saya
disarankan baca minimal tiga harian lain tiap hari agar paham isu. Selain itu
saya harus baca juga harian edisi-edisi yang lalu. Belum ditambah dengan batas
waktu pengiriman tulisan tiap sore yang selalu bikin berkeringat dan sakit
kepala. Lalu pada malam harinya saya diminta untuk membuat budget tulisan esok hari.
<< >>
>>Apakah itu hal buruk?
Dengan tegas saya katakan
tidak. Tekanan redaksional yang seperti itu sama sekali bukan hal yang buruk
bagi calon jurnalis, apalagi jurnalis harian yang sudah memiliki nama baik di
kalangan pembaca. Kewajiban-kewajiban itu membentuk calon jurnalis kelak
menjadi jurnalis yang pandai dan handal—seperti kawan-kawan saya di Karet
Tengsin sana. Baja berkualitas tinggi dibentuk dengan panas dan tekanan yang
luar biasa tinggi juga, bukan?
Masalahnya, saya merasa
berbeda dengan mereka. Tentang bakat dan kemampuan menulis, mungkin kami relatif
setara. Demikian juga dengan kemampuan berpikir dan prediksi kemampuan kerja
(dilihat dari hasil psikotes). Lalu, apa yang berbeda? Saya hampir yakin, yang
membedakan saya dengan mereka adalah masalah minat. Awalnya saya menyepelekan
minat. Saya telanjur percaya diri—atau lebih tepat disebut pongah—dengan
kemampuan. “Asal ada kemampuan, pasti bisa dijalani,” pikir saya waktu itu.
Ternyata kepongahan itu
tak membawa berkah, kawan. Pengalaman selama beberapa minggu ini dengan keras
dan menyakitkan mengajarkan kepada saya: selama tidak ada minat, kemampuan itu
NOL. Ini sungguh-sungguh saya alami. Saya baca berita-berita sampai tengah
malam. Saya pelajari undang-undang terkait hingga mata nanar memandang layar
komputer. Hasilnya? Saya hanya paham beberapa persen saja. Hal ini membuat saya
tidak produktif, tidak mampu menunjukkan kualitas kerja yang baik sebagai
karyawan perusahaan media.
Lebih menyedihkan lagi, sebagai
manusia, saya menjadi tidak mampu memberikan yang terbaik yang ada di diri
saya.
Saya sering berada di
keadaan ketika masuk kantor dengan kepala yang kosong (meski sudah membaca), lalu
saya menemukan kawan-kawan saya sudah dengan giat mengetik di depan komputer
masing-masing. Tak lama kemudian mereka menelepon beberapa narasumber untuk wawancara,
lalu lanjut menulis lagi. Mereka tampak begitu menikmati pekerjaan ini. Lalu
saya memandang diri saya sendiri. Saya seperti pendaki gunung, lengkap dengan
“kulkas” di pundak, yang berjalan perlahan menikmati aspal di antara para pelari
marathon yang berlari dengan ringan.
>>Tersesat
Saya harus segera sadar,
saya sedang tersesat. Salah jalur. Banyak orang bilang: belajarlah dari kesalahan. Saya ingin menambahkan: belajarlah dari kesalahan orang lain.
Kadang-kadang belajar dari kesalahan yang kita lakukan sendiri itu harganya
terlalu mahal, belum lagi berapa lama waktu yang terbuang untuk berada dalam
kondisi salah.
Untung saya belum
tersesat terlalu jauh. Waktu yang saya gunakan untuk menapaki jalur yang salah
juga belum terlalu banyak. By the way,
ingatkah pada pelajaran ketika sedang tersesat ketika di hutan atau ketika
mendaki?
S T O P
Sit—Think—Observe—Plan
Saya coba menerapkan
pelajaran yang saya dapat ketika jadi anggota pecinta alam ketika SMA. Memang
sih saya tidak akan secara ekstrim mati kedinginan ketika tersesat dalam
pekerjaan. Namun, ketika seseorang sudah tidak mendapatkan hidupnya lagi,
apakah itu bukan berarti mati?
Selanjutnya saya duduk,
istirahat, sambil minum dan makan bekal yang saya bawa. Saya diam dan berpikir
jalur apa saja yang sudah saya lewati, buah hutan daun apa yang sudah saya
petik untuk survival ketika bekal
saya habis, dan apakah dari bawah saya memang merencanakan untuk berjalan di
jalur ini? Lalu saya lihat sekitar, mencari ranting yang patah atau bekas
injakan sepatu pendaki lain. Lihat ke atas, di mana letak puncak yang sedang
saya tuju. Lihat kompas atau matahari, berjalan ke arah manakah saya sekarang
ini. Dari situ saya lalu merencakan setelah ini saya akan bagaimana.
Selanjutnya, tentu saja
adalah action. Saya melakukan hal-hal
yang diperlukan untuk memenuhi rencana saya. Di antaranya adalah berteriak
memanggil bantuan dan menyalakan “kembang api” agar orang lain tahu di mana
posisi saya. Belum semua saya lakukan, masih ada banyak tahap untuk sampai ke
sana. Meski begitu, langkah pertama sudah dijalani untuk keluar dari
ketersesatan ini.
>>Tidak ada yang sia-sia
Lalu, apakah pengalaman
tersesat ini adalah sebuah kesia-siaan? Terdengar klise dan normatif sebagai
pekerja yang akan mengajukan resign,
tapi lagi-lagi jawabannya adalah tidak. Memang menjadi sia-sia ketika hanya
bisa menyalahkan situasi atau bahkan mengutuk diri sendiri. Namun, harus saya
akui, pengalaman ini terlalu berharga untuk disia-siakan dengan kedua cara itu.
Pertama, saya belajar
menulis dengan lebih baik di sini. Saya tidak mengklaim tulisan saya kini
menjadi lebih baik dari puluhan tulisan sebelumnya, silakan anda yang menilai.
Namun setidaknya saya jadi lebih tahu bagaimana cara menulis yang baik. Ini
berkat kebaikan redaktur saya, Maria Yuliana Benyamin.** Banyak yang memandang
beliau sebagai orang yang keras dan perfeksionis—saya kadang juga berpikir
begitu—tapi saya sadar ada tujuan baik di belakangnya.
Kedua, saya mendapati
orientasi hidup yang lebih jelas setelah melewati masa ini. Dulu saya anti
dengan ungkapan: kalau kamu tidak tahu
apa yang kamu inginkan, setidaknya kamu tahu apa yang tidak kamu inginkan. Sekarang
saya jadi lebih menerima ungkapan itu—meski tidak sepenuhnya sepakat. Orientasi
hidup ini bisa saja tentang tipe pekerjaan, lingkungan kota untuk hidup, serta
karakter orang yang akan saya temui untuk mendapatkan hidup saya kembali.
Terdengar begitu egois
dan tidak profesional ya? Sudah dapat gaji, bekerja tidak produktif dan
cenderung asal-asalan, lalu resign dengan
mendapatkan pelajaran-pelajaran yang begitu berharga untuk diri sendiri—bukan
untuk perusahaan. Namun biarlah orang menilai apapun yang jadi pandangan mereka,
tetap yakin saja kalau ada hal-hal yang lebih besar dari penilaian orang kepada
kita. Hal-hal besar itulah yang layak kita jadikan perhatian.
<< >>
Ketika mencurahkan hati pada tulisan ini, saya sedang
berada di kamar kos yang berantakan oleh berkas-berkas untuk rencana
selanjutnya. Oh ya, hari ini hari Senin yang tidak semangat dan tanpa motivasi
bekerja, sama persis seperti hari-hari sebelumnya. Saya tak henti-hentinya
menyemangati diri untuk aktif mencari isu dan menghubungi narasumber, lalu
menulis berita dan mengirim ke redaktur. Setidaknya di saat-saat terakhir bekerja
ini saya meninggalkan kesan sebagai pekerja yang baik—kalau belum terlambat.
Semoga semangat ini terwujud, meski saya tahu, menulis hal lain atau
menghabiskan waktu dengan baca buku adalah pilihan yang jauh lebih nikmat.
>>Akhirnya..
Senin depan adalah hari ketika saya harus menyerahkan
kartu pegawai, buku Perjanjian Kerja Bersama, kartu asuransi pegawai, dan
tulisan terakhir yang entah akan dimuat atau tidak. Hari itu adalah hari
ketika—walaupun sangat emoh
melakukannya—saya perlu berpamitan kepada redaktur, sekretariat redaksi, dan
tentu saja, kawan-kawan reporter. Semoga saya tidak harus menjabat tangan
mereka satu persatu. Saya malu.
_____
*
Survivor (menurut google translate): a person
who survives, esp. a person remaining alive after an event in which oters have
died
**
Mbak Maria, terimakasih sudah mengeluarkan energi lebih
untuk membimbing manusia seperti saya. Maaf saya merepotkan dan mengesalkan. Saya
akan selalu ingat ketika mbak Maria bilang, “Kebanggaan menjadi redaktur adalah
ketika para reporter di bawahnya menjadi orang yang diperebutkan oleh banyak
pihak.”
Bagaimana jika ‘redaktur’ diganti dengan ‘guru’, dan
‘reporter’ diganti dengan ‘murid’? Jadi mbak Maria akan selalu menjadi orang
yang digugu dan ditiru, sedangkan saya akan selalu jadi pribadi yang selalu belajar
dari mbak Maria dan ‘Maria-Maria’ yang lain.
Semoga mbak Maria selalu mengingat saya sebagai manusia
yang mau belajar, meski kini sudah tidak lagi belajar di tempat mbak Maria
mengajar. Saya selalu berdoa untuk kemurahan hati Tuhan yang tak pernah
berhenti memberkati mbak Maria sekeluarga.
No comments:
Post a Comment