Skip to main content

Reading. Writing. Repeat.

Judulnya semacam kekinian yang kemaki ya? Kalau anda pernah baca tulisan semacam ini dengan latar belakang warna polos, anda mungkin seumuran dengan saya. Atau lebih muda sedikit. Atau juga lebih tua sedikit.
 
Meski kemaki, mungkin judul itu ada benarnya, terutama untuk orang-orang seperti saya yang mencari sesuap tempe mendoan dari menulis.

Beberapa tahun lalu bapak bilang,”Membaca itu ibarat mengumpulkan material bangunan: batu besar, krakal, krikil, semen, pasir, gamping, batu bata, dan sebagainya. Sedangkan, menulis itu membangunnya jadi sebuah rumah.”

Kata-kata itu selalu mengingatkan saya untuk selalu membaca sebelum menulis. Biar diksinya kaya, biar mengerti pola nganu dan nganu dari penulis nganu. Halah. Kita juga diingatkan untuk tak hanya membaca. Menulis itu membangun. Kalau hanya membaca, material bangunan hanya akan dionggokkan begitu saja di lahan kosong. Mentah, pating klarah, dan dingin hanya disentuh angin.

Susunlah material itu. Seburuk apapun, seaneh apapun,  sebajingan apapun. Kalau salah ya biar salah, biar orang lain lihat kita pernah salah. Supaya kita juga belajar menghargai proses. Kalau baik ya dilanjutkan, sukur-sukur ditingkatkan kualitasnya. Yang buruk jangan dihancurkan, biarkan berdiri. Kita bangun lagi di sampingnya, di depannya, di belakangnya, di sampingnya lagi.

Untuk dunia yang seperti ini, lahan tak akan pernah habis. Percayalah.


Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.