Gambar diambil dari www.tribunnews.com |
Senja
belum ada setengah jam menemani kami di Mojosongo. Belum ada setengah jam juga
saya berpamitan ke keluarga kecil yang bersahaja di sana. Dengan jas hujan
hampir robek, ditemani sepeda motor supra hitam merah yang perkasa, saya siap
melaju ke Yogyakarta!
Kartasura
adalah kelegaan bagi saya. Dia semacam check
point yang menandakan bahwa saya masih di sekitar Sala tapi makin mendekat
ke Yogyakarta. Jalanan aspal dari Mojosongo ke Kartasura agak licin. Hujan tipis
yang turun sejak sore tadi rupanya masih ingin membuat pengendara motor
berjalan perlahan.
Setelah
Kartasura, keawasan mata dan keterampilan mengemudi dari pengendara diuji
dengan kejam. Bagaimana tidak, aspal di sekitar sana sudah banyak yang
berlubang. Padahal kecepatan rata-rata di jalanan itu 60-80 kilometer per jam. Lebih
parah lagi, saat itu sudah mulai gelap. Lampu jalan rasanya tidak cukup terang,
sedangkan lampu depan sepeda motor juga sangat terbatas.
Menghindari
lubang dengan mendadak akan sangat berbahaya. Pasti anda pernah mendengar kabar
kecelakaan lantaran pengemudi sepeda motor menghindari lubang, dan itu membuat
kendaraannya terjatuh atau bahkan tertabrak kendaraan lain dari belakang. Lagipula,
dengan jalanan licin, kecepatan agak ngebut, serta kondisi penerangan yang
tidak bagus, menghindari lubang dengan mendadak adalah keputusan yang sangat tidak disarankan.
Sedangkan,
menerjang lubang di jalanan itu punya risiko keselamatan yang tidak kalah
besar. Minimal, kerusakan akan terjadi di kendaraan (dalam cerita ini sepeda
motor) yang anda kendarai. Mulai dari laher,
velg, ban pecah, shock braker remuk, hingga sekrup-sekrup yang ‘gogrog’ di atas
aspal. Kerusakan motor bisalah diperbaiki, tapi bagaimana dengan cedera di
tubuh kita? Terutama cedera tulang ekor hingga tulang punggung yang
bersinggungan dengan syaraf-syaraf.
Beberapa
kali saya berhasil melihat lubang itu dari kejauhan. Dari jauh pula saya sudah
menggerakkan setang sepeda motor untuk melewati aspal yang masih halus. Berkali-kali
pula saya merasa diselamatkan oleh Sang Juru Selamat. Saya tidak melihat lubang
itu dari jauh, tapi tiba-tiba saja lubang itu sudah berada sepuluh sentimeter
di samping roda depan sepeda motor saya. Pernah juga saya tiba-tiba melihat
lubang berisi air persis di depan saya. Sambil mengucap mantra “Asuuu!” saya
melewati lubang sambil mengangkat pantat. Ternyata itu hanya genangan air saja.
Legalah saya.
Namun,
saya tidak seberuntung itu. Sang Juru Selamat juga tidak sebaik itu kepada
saya. Suatu kali ada lubang yang tidak terlihat, dan tiba-tiba suara “Braakk!”
menyertai benturan keras di kedua tangan saya, disusul benturan di seluruh
tubuh sepeda motor. Lubang itu bikin melek sekaligus patah hati. Saya jadi
waspada lagi untuk melihat ke depan.
Meski
sudah waspada, lubang ternyata memang sering tak terlihat. Dua kali kena, tiga
kali, empat, lima, dan saya patah hati sungguhan. Saya ambil jalan paling kiri
lalu jalan dengan kecepatan sangat pelan untuk menghindari lubang-lubang itu. Ketika
melihat minimarket berjejaring di sekitar Delanggu, saya mampir dulu untuk
minum. Beruntung bagi saya, setelah berhenti di sana, kondisi jalan di depan
hingga masuk kota Yogyakarta membaik. Jarang ditemui lubang di aspal, jarang
juga saya menghindari lubang itu.
Sepertinya
sederhana, tapi saya rasa ada yang mau disampaikan oleh semesta lewat kejadian
ini. Kebetulan saat itu, hingga ketika tulisan ini dibuat, saya sedang
menghadapi masalah dengan wong ora urus.
Lantas
apa pelajaran yang bisa saya dapat? Barangkali ini menarik juga untuk menjadi
bekal anda menghadapi hari-hari.
Hanya
satu pelajaran saja yang bisa saya tangkap: tidak semua masalah itu harus
dihadapi dengan muka hadap muka, kadang kita harus cukup bijak untuk menghindar.
Saya sepakat dengan nasihat untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi, tidak
melarikan diri dari masalah, dan sebagainya. Namun tunggu dulu, untuk
masalah-masalah yang terlalu keras untuk diselesaikan dengan frontal, kita
tidak bisa terlalu pongah untuk menghajar semua itu. Barangkali masalah selesai,
tapi badan kita juga remuk.
Dalam
cerita lubang di aspal tadi, saya tentu tidak mau bilang “Hajar ajaa!!” pada
diri saya lalu bergerak lurus cepat menerjang lubang. Remuk kalau gitu. Harus ada
strategi lain, yang saya sebut dengan penghindaran itu tadi. Jangan salah,
rasanya tidak mudah untuk menghindar dengan aman. Harus ada rencana, waspada
melihat jauh ke depan, serta melihat kondisi sekeliling kita dulu, apakah
memungkinkan atau tidak untuk melakukan penghindaran.
Misalnya,
kita sedang menghadapi masalah dengan orang yang aneh. Dia merasa diri punya
hak untuk melakukan apapun sesuka hati. “Aku berhak kok!” begitu katanya. Lalu,
seperti halnya anak-anak alay, dia meluapkan kekesalan, tantangan, dan berbagai
pisuhan lewat media sosial. Saran saya, jangan membuang-buang energi anda untuk
bermasalah dengan orang seperti itu. Kalau mau berhadap-hadapan
dengan frontal, pilihlah orang yang selevel dengan anda, atau justru punya
level di atas anda.
Sama
seperti halnya ketika kita sedang berkendara di jalan raya. Sebisa mungkin
jangan pernah bermasalah dengan mbak-mbak (atau justru ibu-ibu tua) yang pakai
motor matik; ayah muda yang boncengin istri dan anaknya yang masih bayi;
mas-mas yang kelihatan labil; sopir taksi; dan tukang becak. Mereka punya
masalah sendiri yang sudah cukup berat untuk hidup mereka. Berurusan dengan
mereka lebih baik tidak perlu ngotot, atau kalau bisa ya seperti pelajaran
tadi: menghindarlah berurusan dengan mereka. Bedanya, kali ini bukan karena
level, tapi karena kondisi mereka yang perlu kita pahami.
Kritik
yang sering dilontarkan untuk pernyataan macam ini adalah soal keberanian. Ah, dasar
penakut, pecundang, tidak berani menghadapi masalah, dan sebagainya. Buat saya
sih ini bukan soal keberanian. Ini soal bagaimana kita menggunakan salah dua
anugerah besar yang dimiliki manusia: akal dan hati. Ini soal bagaimana kita
menjadi bijak untuk menghindari lubang yang akan menghancurkan diri kita ketika
kita malah menerjang.
No comments:
Post a Comment