Skip to main content

Hanya Latihan Saja




Sumber: sciblogs.co.nz

Dulu saya benci lihat orang yang selalu sibuk dengan gawainya. “Cah ndungkluk!” kata teman-teman saya. Mereka selalu sibuk memelototi layar. Selalu saja ada yang dikerjakan: nge-update status, unggah foto, share meme, chatting, stalking, dan masih banyak lagi.
 
Sampai suatu saat saya harus jadi “cah ndungkluk” karena mengetik berita lewat gawai. Wartawan lain juga begitu, mereka sangat fokus pada gawai mereka. Biasanya sambil ditopang oleh kekuatan powerbank kecil. Semenjak itu kebencian meluntur. Barangkali mereka memang sedang fokus untuk menulis berita: bukan sekadar mencari uang, tapi menginformasikan sesuatu kepada publik.

Lalu saya lihat gambaran mereka yang seharian duduk di depan layar komputer, mengerjakan sesuatu yang rasanya “enggak jelas” buat saya. “Mereka magabut. Delapan jam kerja itu buka Facebook dan lain-lainnya enam jam, dua jamnya baru buat kerjaan,” pikir saya.

Sampai suatu saat saya juga mengalami hal ini. Barangkali mereka yang melihat saya juga berpikiran begitu. Setiap saat kok selalu ada suara jari beradu keyboard di rumah. Tengah malam atau bahkan subuh pun suara itu selalu ada. Garap tugas? Tugas kok tidak selesai-selesai.

Saya sebut ini latihan, atau semacam exercise.

Brain exercise.

Endurance exercise.


Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.