Sumber: sciblogs.co.nz |
Dulu saya benci lihat orang
yang selalu sibuk dengan gawainya. “Cah ndungkluk!” kata teman-teman saya.
Mereka selalu sibuk memelototi layar. Selalu saja ada yang dikerjakan:
nge-update status, unggah foto, share meme, chatting, stalking, dan masih
banyak lagi.
Sampai suatu saat saya harus
jadi “cah ndungkluk” karena mengetik berita lewat gawai. Wartawan lain juga
begitu, mereka sangat fokus pada gawai mereka. Biasanya sambil ditopang oleh
kekuatan powerbank kecil. Semenjak itu kebencian meluntur. Barangkali mereka
memang sedang fokus untuk menulis berita: bukan sekadar mencari uang, tapi
menginformasikan sesuatu kepada publik.
Lalu saya lihat gambaran
mereka yang seharian duduk di depan layar komputer, mengerjakan sesuatu yang
rasanya “enggak jelas” buat saya. “Mereka magabut. Delapan jam kerja itu buka
Facebook dan lain-lainnya enam jam, dua jamnya baru buat kerjaan,” pikir saya.
Sampai suatu saat saya juga
mengalami hal ini. Barangkali mereka yang melihat saya juga berpikiran begitu.
Setiap saat kok selalu ada suara jari beradu keyboard di rumah. Tengah malam
atau bahkan subuh pun suara itu selalu ada. Garap tugas? Tugas kok tidak
selesai-selesai.
Saya sebut ini latihan, atau
semacam exercise.
Brain exercise.
Endurance exercise.