sehelai daun kering
jatuh di antara riuh hotel gowongan. dia pernah hijau dan jadi teduh bagi
katakata yang sedang kepanasan. | @ryansandjaja
“Semoga besok mas
Ryan jadi orang pilihan,” begitulah isi doa yang berulang-ulang disampaikan
simbah putri tiap kali saya sungkem. Paling tidak ada empat kali dalam setahun
saya sungkem: Idul Fitri, Natal, ulang tahun simbah, dan Idul Adha.
Setiap Idul Fitri
saya sekeluarga ikut ke masjid di dekat rumah, lalu sowan ke beberapa tetangga
yang dituakan. Setelah itu kami langsung buru-buru berangkat ke rumah simbah di
daerah Gowongan untuk sowan. Di sana kami memberi ucapan “Sugeng riyadi”, memohon
ampunan, lalu memohon restu.
Kalau Natal, biasanya
malam Natal atau hari H malam, kami sowan juga ke rumah simbah. Kali ini bukan
kami yang memberi selamat, melainkan sebaliknya. Bapak bilang, “Simbah pasti
ingin mengucapkan selamat Natal ke kita, tapi karena simbah sudah kesulitan
bergerak maka kita saja yang datang ke sana.” Sesampainya di sana tak pernah
simbah terlihat sedih. Tak pernah juga sungkan untuk mengucapkan “Selamat
Natal” kepada anak dan cucunya.
Natal tanggal 25
Desember, ulang tahun simbah (disepakati) setiap tanggal 28 Desember. Biasanya
keluarga yang merantau dari Jakarta dan Magetan menyempatkan diri untuk pulang
sejenak turut merayakan. Sederhana saja, pada siang hari tetangga sekitar
dikirimi sembako. Sorenya warga diundang pengajian, pulang membawa nasi dos
besar. Setelah itu acara keluarga, kami makan bermacam-macam: gule, sate,
asem-asem, bakmi goreng, dan makanan lezat lainnya.
Lalu juga pada hari
Idul Adha. Dulu ketika saya masih kecil, penyembelihan dilakukan di depan rumah
simbah. Mau tak mau saya turut melihat detik-detik pisau memutus urat leher
dari kambing. Turut terasa juga ketakutan dari kambing-kambing korban yang
sedang menunggu giliran. Namun itu tak lama, tahun-tahun berikutnya penyembelihan
kemudian dilakukan di dekat masjid.
***
Dari cerita-cerita
yang saya dengar, simbah putri seringkali melakukan hal-hal heroik. Sungguh-sunguh heroik. Dia adalah
sosok yang super bernyali dan punya keyakinan sangat teguh. Simbah putri juga
seorang pedagang yang tangguh, dengan kecerdasan berhitung (bisnis) yang di
atas rata-rata—meskti tidak bersekolah.
Ada kisah suatu masa
ketika perang dengan pemerintahan kolonial Belanda, prajurit Belanda melarang
pedagang dari luar untuk berjualan ke kota. Simbah putri, dengan sepeda
kayuhnya, dengan sangat berani melakukan negosiasi yang akhirnya berhasil
mengelabui prajurit tersebut. Simbah akhirnya diperbolehkan masuk dan berdagang
di tempat yang sebelumnya dilarang.
Juga pada masa kelam
pembantaian anggota dan/simpatisan PKI. Menurut cerita, kala itu yang menjadi
penentu hidup-mati seorang warga adalah ujung pena Ketua RT. Ketua RT didesak
untuk membuat daftar siapa saja warganya
yang terindikasi tergabung dalam PKI. Siapa yang tertulis biasanya “diciduk”
lalu dipenjara; tak jarang yang lalu meninggalkan nama saja.
Kejadian di rumah
simbah sangat ngeri kala itu. Semua tetangga sekeliling rumah sudah dimasukkan
daftar nama oleh Ketua RT, tak terkecuali nama simbah kakung saya. Mengetahui hal
tersebut, naluri ibu dari simbah putri keluar. Dia bertindak bagai induk ayam
yang marah; yang sekuat tenaga melindungi sarangnya dari ancaman ular. Simbah
putri dengan berani mendatangi Ketua RT dan menekan dia supaya mencoret nama
simbah kakung. Simbah putri berdebat sangat sengit, hingga akhirnya nama simbah
kakung benar-benar tercoret dari daftar.
***
Penyelamatan simbah
juga kental terasa dalam bidang ekonomi. Simbah putri adalah pedagang. Dia mengetahui
seluk beluk pasar, cara memperlakukan pelanggan, hingga cara memutar uang untuk
kemudian mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Singkatnya, simbah pernah cerita
kalau dirinya tak pernah merasakan panas terik. Awalnya iya, karena memang
berjalan menjajakan dagangan di sekitar Gondolayu. Namun ketika sudah memiliki
los di pasar, simbah bekerja begitu keras. Pagi subuh hingga maghrib, dan
hampir tak pernah libur.
Hasilnya? Cukup untuk
menyekolahkan anak-anak dan cukup untuk membeli tanah dan membangun rumah-rumah
di atas tanah tersebut. Tentu saja dukungan keluarga sangat membantu pencapaian
hal-hal tersebut.
Suatu ketika saya
datang ke rumah simbah sendirian. Saya hanya ingin pamer ketika itu bahwa
tulisan opini saya dimuat di koran yang menjadi langganan simbah. Saya tunjukkan
foto saya yang terpampang di samping tulisan, tetapi sayang, simbah sudah rabun
jadi tak bisa melihat dengan jelas. Simbah memberi selamat dan menetralkan
kesombongan saya.
Saya tak ingat persis
bagaimana kata-katanya. Namun yang saya ingat adalah tetaplah tekun bekerja
dengan cangkulmu. Masing-masing dari kita diberi ladang dan cangkul yang
berbeda oleh Tuhan. Jika cangkulmu adalah berpikir dan menulis, maka garaplah
ladangmu dengan tekun. Begitu kira-kira.
Namun simbah tak
selalu mendidik dengan wejangan. Dulu ketika kecil saya jarang diberi nasihat,
mungkin karena masih terlalu kecil. Saya ingat bahagianya ketika setiap kali
datang ke Gowongan, simbah menyuguh kami dengan kacang mete yang baru saja
digoreng. Panas, renyah, dan gurih. Sambil makan mete, simbah putri memijat
kaki saya yang kelelahan karena habis latihan Tae Kwon Do.
***
Simbah itu cerdas, pemberani,
teguh, dan gigih. Karakter-karakter itu sangat terlihat pada pilihan-pilihan
hidupnya. Bahkan memasuki masa senjanya, karakter itu masih sangat terlihat
sampai-sampai saya kasihan melihat anak-anaknya berjuang keras untuk memenuhi
harapan simbah putri.
Kegigihan dan sifat
pantang menyerah itu masih sangat jelas terlihat ketika simbah berada di akhir
hidupnya. Simbah putri mengurus, badannya semakin kecil di usia yang hampir 90
tahun. Simbah tidak menderita sakit apa-apa. Ketika diperiksa, tingkat oksigen
dalam tubuh simbah juga mencapai level yang hampir sempurna.
Simbah akhirnya
meninggal karena tubuhnya sudah tidak bisa mencerna makanan. Tubuh yang dihuni
simbah benar-benar sudah menua hingga pada saatnya semua akan berhenti.
Tak berhenti sampai
di situ. Sebuah kebetulan kembali terjadi—entah karena kebetulan atau karena
kegigihan simbah yang menawar-nawar semesta. Mbak Karin, kakak saya, adalah
cucu yang paling disayangi simbah putri. Kebetulan sekali, saat simbah
meninggal, mbak Karin langsung menuju rumah sakit dan jadi satu-satunya cucu,
bahkan satu-satunya keluarga, yang turut memandikan simbah bersama dengan perawat rumah sakit.
Sama dengan
kisah-kisah keluarga saya yang lain, simbah meninggalkan narasi soal kerja
keras. Jangan tanyakan seberapa keras. Tak perlulah juga dilihat hasilnya. Hadiah
paling baik bagi para pekerja keras adalah melihat bahwa hal-hal baik dalam
dirinya dikembangkan oleh para keturunannya.
Matur nuwun, simbah.
Nyuwun pangestu.
________
Ditulis bukan untuk
memperingati apa-apa. Hanya sedang rindu.