08 June 2016

Denggung yang Selalu Tanpa Kata

"Dermolen" (atau sebagian orang menyebutnya "bianglala") mini yang masih terbungkus kain putih.

Topi warna merah yang dia kenakan telah memudar. Bukan jingga, bukan pula merah muda. Masih merah memang, tapi tercampur warna putih dan noda lusuh di sana sini.

Warna itu ditabrakkan dengan kaos buluk yang dibagikan oleh sebuah korporasi busuk tatkala mereka mengadakan acara. Kaos itu terlihat tipis, penuh logo sponsor, warna biru yang mulai pudar, dan terlihat tak menyerap keringat.

Dia berjalan pelan di depan deretan warung sebelah utara lapangan Denggung yang diselimuti mendung pagi itu. Langit memang abu-abu semenjak fajar, seusai saudara Muslim pulang dari subuhan di masjid belakang rumah.

Mobil-mobilan listrik untuk anak kecil sedang dibersihkan, siap untuk disewakan.
Siapkan 5.000 rupiah untuk dua kali putaran kecil.

Berhenti di depan sebuah warung, dia hanya menganggukkan kepala sejenak ke arah pemilik warung.

Tanpa sepatah kata juga, pemilik warung masuk dan membuka gentong air. Pria bertopi merah dengan usia 65an tahun itu lalu mengangkat jeriken air yang dia bawa dengan gerobak. Sebuah gerobak sederhana dari kayu-kayu yang ditempel sana sini asal kuat.

Satu jeriken itu barangkali berisi 15 liter air. Dia mengangkat satu demi satu, menuangkan isinya ke gentong penyimpanan air dalam warung.

“Air sumur atau air ledeng itu?”

“Sumur. Itu yang di belakang rumah,” katanya sambil menunjuk ke arah utara.

Dua jeriken yang telah kosong itu lalu dia taruh kembali di atas gerobak, bersama satu jeriken yang sebelumnya telah kosong. Dengan tangan yang keriput, dia menarik kembali gerobak itu menjauh dari deretan warung.

Gerobak sederhana isi tiga jeriken kosong.

Gerobak itu diparkirkan begitu saja di belakang sepeda hitam. Lalu dia pergi duduk di warung lain untuk memesan kopi dan sebatang rokok.

Lantas aktivitas di lapangan Denggung bergulir seperti hari-hari biasanya.

Setiap pagi air di kolam dan apa-apa yang mengapung di dalamnya harus dibersihkan.

 Tempat itu biasa disinggahi keluarga untuk berteduh di bawah pohon-pohon rindangnya. Atau sekadar dilewati oleh roda-roda angkuh yang melaju kencang.

Barangkali mereka tak pernah tahu,
di Denggung sana,

ada sesosok yang tiap hari menawarkan
air bersih jualannya. 

Tanpa kata.

Jogja
08.06.2016

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain