"Dermolen" (atau sebagian orang menyebutnya "bianglala") mini yang masih terbungkus kain putih. |
Topi warna merah yang
dia kenakan telah memudar. Bukan jingga, bukan pula merah muda. Masih merah memang, tapi tercampur warna putih dan noda lusuh di sana sini.
Warna itu ditabrakkan
dengan kaos buluk yang dibagikan oleh sebuah korporasi busuk tatkala mereka
mengadakan acara. Kaos itu terlihat tipis, penuh logo sponsor, warna biru yang
mulai pudar, dan terlihat tak menyerap keringat.
Dia berjalan pelan di
depan deretan warung sebelah utara lapangan Denggung yang diselimuti mendung
pagi itu. Langit memang abu-abu semenjak fajar, seusai saudara Muslim pulang
dari subuhan di masjid belakang rumah.
Mobil-mobilan listrik untuk anak kecil sedang dibersihkan, siap untuk disewakan. Siapkan 5.000 rupiah untuk dua kali putaran kecil. |
Berhenti di depan
sebuah warung, dia hanya menganggukkan kepala sejenak ke arah pemilik warung.
Tanpa sepatah kata
juga, pemilik warung masuk dan membuka gentong air. Pria bertopi merah dengan
usia 65an tahun itu lalu mengangkat jeriken air yang dia bawa dengan gerobak. Sebuah
gerobak sederhana dari kayu-kayu yang ditempel sana sini asal kuat.
Satu jeriken itu
barangkali berisi 15 liter air. Dia mengangkat satu demi satu, menuangkan
isinya ke gentong penyimpanan air dalam warung.
“Air sumur atau air
ledeng itu?”
“Sumur. Itu yang di
belakang rumah,” katanya sambil menunjuk ke arah utara.
Dua jeriken yang
telah kosong itu lalu dia taruh kembali di atas gerobak, bersama satu jeriken
yang sebelumnya telah kosong. Dengan tangan yang keriput, dia menarik kembali
gerobak itu menjauh dari deretan warung.
Gerobak sederhana isi tiga jeriken kosong. |
Gerobak itu
diparkirkan begitu saja di belakang sepeda hitam. Lalu dia pergi duduk di
warung lain untuk memesan kopi dan sebatang rokok.
Lantas aktivitas di lapangan
Denggung bergulir seperti hari-hari biasanya.
Setiap pagi air di kolam dan apa-apa yang mengapung di dalamnya harus dibersihkan. |
Tempat itu biasa
disinggahi keluarga untuk berteduh di bawah pohon-pohon rindangnya. Atau sekadar
dilewati oleh roda-roda angkuh yang melaju kencang.
Barangkali mereka tak
pernah tahu,
di Denggung sana,
ada sesosok yang tiap hari menawarkan
air bersih jualannya.
Tanpa kata.
Jogja
08.06.2016
No comments:
Post a Comment