Skip to main content

Ikan di Air


7art-screensavers.com

Adalah kesombongan yang memalukan ketika mengingat masa lalu.
Kami menganggap diri kami ikan besar di kolam kecil.

Mungkin kami memang ikan besar, kawan.
Terlalu besar hingga tidak mampu bergerak sedikitpun.
Yang hanya mampu berkoar-koar melalui mulut busuk kami.

Ikan besar ini hanya memenuhi seisi kolam.
Ikan kecil yang ceria dan beraneka warna menjadi tiada arti.
Kami hanya menjadi seonggok daging tanpa  makna.

Adalah kebutaan yang menyakitkan ketika mengingat masa lalu.
Kami menganggap diri kami ikan besar di kolam kecil.

Ikan besar yang selalu merindukan samudera.
“Kolam ini terlalu kecil, seharusnya kita di samudera..” teriak kami.
Buta, kawan, kami buta.

Samudera itu hanya ilusi.
Realitas samudera ada di sini, kawan.
Dan kami baru satu jengkal dari bibir pantai.

Adalah kebodohan yang memuakkan ketika mengingat masa lalu.
Kami menganggap diri kami ikan besar di kolam kecil.

Kolam kecil ini ternyata samudera yang lain.
Lihat, kami kelelahan bersama kalian di bibir pantai itu.
Masih tercium bau daratan, kawan, kita belum jauh.

Kini tidak ada ikan besar lagi.
Kita ikan kecil yang siap menjelajah samudera.
Samudera yang kita cipta sendiri.



Bodoh.
Kolam atau samudera,
kita hanya butuh air.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.