Skip to main content

Mengapa dokumenter ?

Tulisan ini bukan berisikan hal teoritis dan praktis mengenai seluk beluk film dokumenter.
Bukan juga berbicara mengenai gagasan, eksekusi, hingga proses editing.
Sebenarnya yang anda baca ini hanya sekadar jawaban atas pertanyaan yang muncul dari dalam mengenai ketertarikan saya pada film dokumenter.

Satu jawaban pertama yang muncul di otak kosong saya adalah bahwa film dokumenter mengungkapkan realitas.
Tidak perlu berdebat panjang layaknya filsuf naturalis hingga materialis untuk menentukan definisi dari 'realitas', baca saja karya-karya mereka dan temukan maknanya.

Realitas
Bagaimanapun juga, realitas dalam film dokumenter merupakan realitas subjektif-dari sisi sang pembuat film.
Adakah yang lebih menarik dari perbedaan?
Kutub magnet yang berbeda akan saling menarik, jenis kelamin berbeda juga saling menarik (kecuali dalam kasus tertentu), perbedaan teori dan praktek yang ada menarik para ilmuwan sosial untuk melakukan penelitian, dan segala macam perbedaan lainnya.
Mengetahui realitas dari subjek lain menuntut kita untuk setia pada pandangan kita sekaligus mampu mengkritisinya.

Gagasan
Hal berikutnya adalah kesetiaan pada gagasan awal.
Gagasan pada nantinya berkaitan erat dengan riset yang perlu kita lakukan sebelum membuat film dokumenter.
Riset yang matang dan mendalam merupakan roh dari film dokumenter.
Walau demikian, riset yang dilakukan kadang akan menimbulkan ide dan gagasan lain yang berbeda dengan gagasan awal.
Di sinilah kemampuan para pembuat film untuk mempertimbangkan secara kritis diuji.

Untuk sementara ini saja jawaban yang saya temukan, jawaban yang mendalam akan kita temukan pada saat membuat film dokumenter yang sebenarnya.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.