Skip to main content

Menjadi Jurnalis Cerdas

Tulisan ini sama sekali bukan lelucon. Tulisan ini berangkat dari keprihatinan yang tidak membutuhkan kecerdasan – maka saya bisa merasakannya.


Seorang jurnalis cerdas dari televisi swasta yang sering dihujat di suatu negeri sedang melakukan wawancara kepada seorang ibu yang sedang sangat bersedih karena jasad bayinya yang sudah dikubur dicuri orang misterius.


…(wawancara mulai berjalan; ekspresi ibu: sedih bukan main; ekspresi jurnalis: simpatik dan terlihat cerdas)…

Jurnalis : Anak keberapa, bu?
Ibu : Anak pertama.
Jurnalis : Sebelumnya sudah pernah punya anak?
Ibu : Belum pernah, baru ini anak saya.

…(wawancara dilanjutkan; ekspresi ibu: tetap sedih; ekspresi jurnalis: terlihat semakin cerdas; ekspresi saya: iri karena kalah cerdas)…

Meski mungkin kata-katanya tidak persis seperti yang saya tuliskan, namun substansi dari pertanyaan  (cerdas) sang jurnalis (cerdas) kurang lebih seperti itu.

Mari menjadi jurnalis cerdas (!)

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.