Ternyata kata kematian tidak membuat orang menjadi mati dan berhenti. Orang-orang masih saja mendefinisi dan meredefinisikan kematian. Kematian menurut ini, kematian menurut itu, sesudah kematian, upacara kematian, dan sebagainya. Sampai kapan? Sampai kematian itu menjadi benar-benar mati dan tidak ada yang menghidupi.
Oleh: Andreas Ryan Sanjaya
Beberapa hari lalu umat Katolik di Yogyakarta kehilangan seorang romo. Almarhum mengalami kecelakaan di Muntilan (detailnya tidak perlu saya tuliskan di sini) .
Bertepatan dengan masa berkabung itu, saya mewawancara seorang romo lain (yang tidak lain adalah teman dari almarhum) berkaitan dengan tema artikel yang hendak saya tulis bersama dengan tim. Wawancara saya buka dengan sedikit berbasa-basi, berbincang tentang romo yang mengalami kecelakaan tersebut.
Saya ngawur saja bicara, “Kok bisa kecelakaan ya, romo.” Saya mengira romo yang ada di depan saya akan kemudian menceritakan kronologi kecelakaan, atau menceritakan perasaannya. Ternyata tidak. Dan jawabannya sedikit mengejutkan saya.
Dengan badan tegap dan tersenyum dingin, romo menjawab,”Ya bisa saja to? Setiap orang bisa saja kecelakaan, dan mati.” Sejenak saya tidak tahu harus menanggapi bagaimana.
Bisa saja romo ini begitu dingin dan tidak peduli terhadap kematian temannya, tetapi bisa jadi kematian memang bukan hal yang penting untuk dipikirkan dan menjadi sedih.
Saya melihat hal yang kontras terjadi di sini. Orang-orang Katolik sibuk mengirim pesan pendek ke koleganya untuk mengabarkan berita duka mengenai seorang romo yang meninggal. Hampir semua bersedih, hampir semua memperbincangkannya.
Dalam pendekatan komunikasi, seseorang memang cenderung merasa senang ketika dia menjadi ‘narasumber’ bagi orang lain. Mengetahui suatu berita, dia kemudian berbincang ke sana-sini, tidak jarang pula membubuhi cerita.
Sedangkan romo yang saya wawancara tadi? Saya yakin dia mengerti banyak tentang kronologi kecelakaan. Tapi saya tidak melihat bagaimana dia bercerita sampai berbusa-busa mengenai kematian temannya itu.
Mungkin memang yang tahu sesuatu lebih baik diam, supaya tidak diberitakan lagi menggunakan kacamata subjektif.
Saya kemudian melanjutkan wawancara. Tidak banyak informasi yang saya dapat, bahkan tidak ada satupun yang hendak saya masukkan dalam artikel. Tetapi setidaknya romo itu menginspirasi, kematian tidak perlu didefinisikan lagi.
No comments:
Post a Comment