Wartawan merupakan garda terdepan yang akan menempatkan di mana posisi media dalam ranah pikiran publik.
(Syahputra, 2006:69)
Oleh: Andreas Ryan Sanjaya
Perlu disadari, makin banyak kritikan yang menghujani berbagai media massa dewasa ini terkait dengan produk-produk jurnalistik yang dihasilkan. Tendensi kritikan mengarah pada pemberitaan yang tidak seimbang dan pemberitaan yang dilebih-lebihkan. Kritik kepada media tentu tidak berhenti pada manajemen perusahaan media atau kebijakan redaksional, namun juga menyentuh wartawan sebagai garda terdepan.
Euforia demokrasi yang sering diwujudkan dalam demonstrasi yang berujung pada konflik dan kekerasan tidak pernah luput oleh media untuk diberitakan. Berita mengenai konflik yang tidak diawali dengan demonstransi juga menjadi santapan sehari-hari audien dari berbagai kalangan.
Konflik dan kekerasan seakan-akan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diketahui oleh semua audien. Suatu konflik bisa secara serempak menjadi headline di surat-surat kabar nasional maupun lokal, bahkan bisa saja seharian atau berhari-hari diberitakan melalui televisi. Setelah konflik yang ‘menarik’ itu sedikit mendingin, media kembali mengalihkan isu sebelumnya yang belum tuntas dibahas, ataupun mengangkat isu baru.
Menurut Sigmund Freud konflik adalah pertentangan antara dua kekuatan atau lebih, mengandung agresifitas dan diekspresikan. Wartawan yang meliput konflik praktis ada di antara konflik itu sendiri. Dari sisi media sebagai industri yang berlogika pasar, wartawan harus mampu menciptakan berita sebagai komoditas yang selalu menarik untuk dikonsumsi audien. Namun dari sisi kemanusiaan, wartawan mempunyai tanggung jawab sosial untuk berperan membantu menyelesaikan konflik.
Seperti yang dituliskan Iswandi Syahputra (2006:64-65), dalam perspektif jurnalis profesional yang meliput konflik, informasi dari jurnalis bisa menjadi aset atau pendorong konflik. Namun informasi jurnalis juga bisa menjadi penyalur dari kebuntuan komunikasi. Nampaknya fungsi yang kedua ini harus diperhatikan oleh jurnalis sendiri maupun audien. Sudahkah media menjadi penyalur dari kebuntuan komunikasi?
Kebuntuan komunikasi bisa disebabkan karena tidak adanya pihak yang mau menawarkan solusi, atau bisa jadi karena tidak ada pihak ketiga yang bersifat netral dan mampu mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berkonflik. Hal ini tentu mengakibatkan hal yang tidak bermanfaat untuk audien. Jika dikaitkan dengan fungsi pendidik, pers telah gagal untuk mendidik audien dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.
Ketika pers gagal untuk menjalankan fungsi pendidikan, tidak ada yang dapat menjamin bahwa pers dapat berhasil untuk menjalankan ketiga fungsi lainnya. Berkaitan dengan hal ini, wartawan tentu tidak akan membiarkan institusi pers dianggap gagal. Meski mungkin tidak tertulis dalam aturan manapun, wartawan tentu tidak cukup untuk memberikan informasi mengenai akibat konflik saja, apalagi jika dalam kasus tertentu memojokkan suatu pihak. Wartawan dituntut untuk menyajikan konflik yang lengkap, menerjang kebuntuan-kebuntuan informasi, dan mendeskripsikan dengan jelas penyelesaian yang mesti dilakukan.
Buku: Jurnalisme Damai, ditulis oleh Iswandi Syahputra pada tahun 2006.
#Tulisan ini dimuat dalam diskusi kecil tentang pers di Bernas Jogja (halaman opini) edisi Jumat (18/2)
No comments:
Post a Comment