Skip to main content

Natal 2012


Saya hampir merasa bahwa terakhir kali saya merayakan natal adalah ketika saya bertugas menjadi putera altar. Mungkin sekitar sembilan tahun yang lalu. Beruntung, tahun 2o12 ini saya kembali merasa merayakan natal.




Entah dengan maksud apa, mudika (muda-mudi Katolik) tempat saya tinggal mendapat tugas untuk membangun gua natal. Bangunan itu digunakan dalam perayaan misa, pada saat prosesi peletakan bayi Yesus.

Dalam rapat mudika muncul konsep membangun gua natal menggunakan botol bekas. Perjuangan pun dimulai. Awalnya kami membuat rangka berbentuk kandang dari bambu. Tampaknya itu pertama kali bagi masing-masing dari kami untuk berurusan dengan bambu. Lalu rangka itu diisi dengan botol bekas air mineral yang disusun.

Kami mulai mengerjakan gua sekitar dua minggu sebelum perayaan natal. Waktu pembuatan memang sengaja dimulai jauh-jauh hari supaya tidak terlalu tergesa-gesa seperti tahun lalu.

Berbagai hambatan datang. Mulai dari uang yang kurang, tekhnik menyusun botol yang sulit ditemukan, rangka bambu yang mudah miring, tekanan dari para orangtua yang dengan entengnya bertanya "Guanya sudah selesai?", dan sebagainya. Namun selalu ada jalan, bantuan selalu datang tepat waktu.

Dengan semangat bekerja sampai lembur, akhirnya gua (atau lebih tepat disebut kandang) sudah jadi. Namun sayang sekali romo tidak mengapresiasi kerja para mudika ini. Sungguh disayangkan. Menurut saya mudika perlu untuk mendapatkan apresiasi, terutama dari romo. Ketika banyak orang ingin berfoto di depan gua saja kami sudah sangat senang, sekali lagi sayang sekali romo tidak menyebut atau menyinggung konsep itu satu kalipun dalam misa.

Tapi ada yang lebih penting dari semua itu, apakah kita terlahir kembali menjadi sesuatu yang menyelamatkan?

Apapun jawabannya, monggo dinikmati fotonya, semoga menginspirasi.





Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.