08 August 2013

Idul Fitri

Sumber: http://en.tempo.co/read/news/2013/08/08/114503226/How-Yogyakarta-Celebrates-Eid-al-Fitr

Untuk kali ini saya ingin menulis dengan keras, bodoh, nylekit, dan pesimis terhadap hidup. Sebelum melangkah lebih jauh saya perlu menekankan bahwa saya tidak membenci agama Islam atau agama manapun, saya menghormati semua agama dan ajarannya sebagai nilai yang diyakini manusia para pengikut agama itu.

Kalimat utama yang perlu saya sampaikan adalah saya tidak suka momen lebaran.


Pertama, saya ngeri melihat orang berbondong-bondong datang ke toko pakaian untuk belanja menjelang lebaran. ‘Matahari’ (berada di kota) yang biasanya tidak terlalu ramai, mendadak menjadi seperti pasar sayur. Suatu saat saya juga melewati beberapa toko pakaian di sekitar Pasar Godean (berada di desa), di dalam toko terlihat padat sekali. Bukan apa-apa, saya hanya sedih bila masyarakat disetir oleh budaya yang seperti itu, yang konsumtif, yang tunduk oleh iklan, gengsi, harga diri, dan sebagainya. Rasanya ungkapan-ungkapan macam “Lebaran tidak selalu harus pakai baju baru, yang penting hatinya yang baru” itu sudah tidak lagi mempan. Saya hanya berharap masyarakat lebih cerdas, lebih bijak, lebih tahu diri.

Kedua, saya melihat tayangan bodoh dan menjijikkan di televisi nasional. Jelas yang saya maksud bukanlah tayangan macam khotbah para ustadz atau ustadzah. Tayangan yang saya maksud lebih kepada hiburan-hiburan bertema bulan suci yang konyol, tidak lucu sama sekali, berisi tari-tarian dan lawakan kasar, dan tidak memberi inspirasi kepada orang lain untuk merayakan bulan suci dengan hati yang bersih. Dalam hati saya bersyukur MUI memberi kritik kepada stasiun televisi yang menyiarkan acara-acara tersebut.

Ketiga, banyak orang munafik. Saya tidak tahu berapa jumlahnya, tapi saya yakin ada. Setelah shalat Ied, saya ikut masuk masjid untuk berdoa bersama dan sambutan-sambutan. Setelah itu saya keliling bersama orangtua saya ke beberapa orang yang dituakan di tempat saya tinggal. Di sana saya sungkem dengan orang-orang tua dan memohon maaf. Rasanya seperti tradisi saja. Bagaimana tidak, saya bahkan tidak pernah berkomunikasi dengan mereka, paling-paling hanya mengucapkan “Monggo pak” sambil tersenyum ketika lewat depan rumahnya. Namun bukan itu yang saya maksud dengan munafik. Saya tinggal di lingkungan orang Jawa, yang notabene tidak senang berada dalam situasi konflik terbuka. Mereka lebih ingin terlihat harmonis dan adem ayem. Ketika ada konflik atau sedikit kebencian, lalu apa yang dilakukan? Ya, betul, ngrasani. Dengan ngrasani (membicarakan keburukan orang lain, orang yang dibenci, dsb.) mereka bisa memiliki dua muka, bersikap semedulur (persaudaraan) di depan orang yang dibenci, padahal di belakang ngrasani. Sama ketika lebaran, mereka saling mohon maaf lahir dan batin, sampai nangis-nangis, tapi bisa jadi dalam hitungan jam atau hari bisa saling ngrasani lagi. Tampaknya kata batin pada “mohon maaf lahir dan batin” masih dimaknai lahir. Mungkin.

Keempat, jalanan Jogja macet. Banyak sekali mobil luar kota masuk ke Jogja. Yang ini sudah bisa dibayangkan. Selain itu pada saat puasa, sekitar pukul lima sore lalu lintas menjadi berbahaya karena banyak sekali pengendara yang tidak mau mengalah.

Kelima, selama puasa banyak warung makan tutup. Untuk orang-orang yang tidak berpuasa dan biasa makan di luar, kadang ini agak mengganggu.

Keenam, banyak mercon. Saya secara pribadi tidak tahu apa indahnya dari suara petasan, atau ledakan. Dan juga, setiap tahun pasti ada korban ledakan mercon itu. Bisa dicek. Mending kalau kembang api yang meledak di udara. Kalau yang hanya ledakan? Selain suara yang mengganggu bayi dan hewan macam anjing, sampah berupa potongan kertas berwarna putih sering sekali terlihat ditinggalkan di jalanan. Bukankah ini bodoh sekali?

Ketujuh, perjalanan mudik yang selalu memakan korban. Sudah saya tulis di postingan sebelumnya bahwa saya berharap pada bulan Agustus ini tidak ada orang meninggal pada saat mudik. Saya sangat menghargai hidup seseorang, dan saya turut berduka atas korban-korban kecelakaan yang meninggal selama mudik lebaran. Jumlah kematian warga tiap tahun selama mudik lebaran ini selalu membuat hati saya miris, mungkin demikian juga dengan anda.

Sesungguhnya saya masih ingin menulis lagi. Namun tahukah anda bahwa mencari alasan atau argumentasi untuk membenci sesuatu itu melelahkan? Atau..tahukah anda bahwa merasionalisasi kebencian itu melelahkan? Saya harap kita semua sadar, untuk berhati-hati terhadap pikiran yang selalu membenci. Segala hal bisa dibenci, bahkan bulan suci.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain