Kemarin iseng saja membaca-baca berita
di media online secara random. Tiba-tiba saya menemukan berita yang cukup
menarik, karena (lagi lagi) berkaitan dengan hasil survei. Ini beritanya:
Prabowo Salip Jokowi di Survei, Apa yang Terjadi?Minggu, 04 Agustus 2013 | 11:04 WIBTEMPO.CO, Jakarta -- Hasil survei Focus Survey Indonesia (FSI) menempatkan Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia Raya Prabowo Subianto sebagai calon presiden dengan elektabilitas tertinggi. Prabowo dengan elektabilitas 27,4 persen jauh mengungguli Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang elektabilitasnya 11,5 persen.
"Ini tergambar dari keinginan masyarakat yang menginginkan pemimpin yang tidak peragu, tegas, pemberani, dan tidak mengeluh," kata Direktur FSI Nelly Rosa Juliana di Cikini, Jakarta, Jumat malam, 2 Agustus 2013.
Dalam survei FSI, hanya Prabowo yang elektabilitasnya melewati angka 25 persen. Tokoh-tokoh lain seperti Megawati, Jokowi, Wiranto, dan Hatta Rajasa seluruhnya di bawah 15 persen. Megawati yang berada di urutan kedua setelah Prabowo mendapatkan angka 12,7 persen. Sedangkan Wiranto 8,4 persen. [baca selanjutnya di sini]
Buat saya cerita-cerita seperti ini
menarik. Kenapa menarik? Saya mulai dari yang biasanya muncul pertama kali
ketika sebuah lembaga survei mempublikasikan hasilnya: apakah hasil itu valid? Biasanya
pertanyaan ini disusul dengan pertanyaan: bagaimana teknik samplingnya, metode
penelitiannya seperti apa, dan sebagainya. Lalu ujung dari pertanyaan ini
adalah “Siapa yang membayar?”
Untuk seorang mahasiswa yang pernah
sedikit sekali menyeruput proses quick count Pilkada DKI Jakarta 2012 putaran
satu, terus terang dalam hati saya prihatin (saya bukan presiden) bergejolak
protes. Begitu mudahnya nanti seseorang akan bertanya: hasil survei itu pesanan
siapa? Waktu saya ikut quick count, peran saya amat sangat kecil sekali. Itupun
sudah cukup “kemringet”. Artinya penyelenggaraan survei itu bukan perkara kecil
dan mudah. Namun pertanyaan itu juga tidak bisa langsung disalahkan, karena
pasti ada dasar atau setidaknya pengalaman yang mendahului pertanyaan itu.
Ya, kita semua tahu, pernah ada
lembaga-lembaga survei yang dipesan oleh pihak tertentu untuk kepentingan
politik. Menurut saya ini merugikan sekali. Ada istilah keras dari yang pernah
saya baca: melacurkan ilmu pengetahuan. Pengalaman inilah yang mendorong
ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga survei.
Meski begitu, di sisi lain kita tampaknya harus senang,
karena itu artinya masyakat –meski hanya sebagian –tidak lagi menelan
mentah-mentah hasil survei atau pemberitaan suatu media.
Berikutnya, saya tidak sepakat dengan
pendapat Irwan Suhanto (yang di dalam naskah berita dilabeli sebagai pengamat
politik). Ia bilang wartawan tidak pantas menanyakan metodologi yang dilakukan
lembaga survei. Ia pasti memiliki argumentasi atas pernyataannya itu. Namun wartawan
juga pasti punya argumentasi mengapa mereka mencecar pertanyaan seputar itu. Jika
pertanyaan itu muncul dari sikap skeptis, maka kali ini saya mendukung para
wartawan. Hasil penelitian bisa berbeda dan tidak disepakati, tapi
metodologinya harus jelas.
Menurut saya metodologi bukan dapur. Jika
hasil penelitian adalah teras, metodologi adalah ruang tamu, artinya orang
masih boleh lihat. Yang ada di dapur adalah pengolahan datanya.
Lalu wartawan juga minta foto bukti
pengumpulan data, yang juga tidak dapat dipenuhi. Mungkin ini berkaitan dengan
transparansi ya. Kalau lembaga survei itu benar-benar sudah melakukan survei,
lengkap dengan dokumentasinya, sebaiknya mereka transparan saja kepada media
dan masyarakat –tentu dalam batasan tertentu yang tidak seketat ini. Kalau mereka
transparan dan punya bukti, saya rasa masyarakat akan menaruh kepercayaan.
Tapi ya..siapa sih saya ini? Melakukan penelitian
saja belum pernah. Untung sudah hidup di jaman ini, tiap orang boleh
berpendapat apa saja dan menulis apa saja. Dan sama seperti yang dilakukan
wartawan kala itu, Anda boleh tidak percaya.
No comments:
Post a Comment