Sumber:
http://i1.ytimg.com/vi/Ckl58dc-SUs/hqdefault.jpg
|
Rabu (28/8/2013) kemarin ada pertandingan Persija versus Persib di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta. Selama pertandingan berlangsung ada beberapa insiden yang terjadi dan diliput media. Lewat tulisan ini ada dua insiden yang menurut saya tidak adil dalam pemberitaan media.
Pertama, penonton rusuh. Katanya ada
bunyi petasan dari tribun penonton pada menit ke 18. Petasan inilah yang
membuat pertandingan dihentikan sementara. Selain di dalam lapangan, saya juga
membaca bahwa banyak kesepakatan yang dilanggar oleh suporter, salah satunya
adalah mengenakan atribut tim.
Kedua, di tengah-tengah keributan itu
turunlah Menpora, Roy Suryo, dari tribun VIP ke lapangan untuk menenangkan
massa yang marah. Dia mengajak semua orang menyanyikan lagu Indonesia Raya. Maksudnya
heroik sekali, ketika semua menyanyikan lagu kebangsaan, diharapkan suasana
menjadi khidmat dan damai. Tapi ada insiden yang membuat dia ‘dihabisi’ oleh
media-media dan para pengguna akun jejaring sosial, dia salah menyanyikan
lirik. ‘Di sanalah aku berdiri’ menjadi ‘Di sanalah tanah airku’.
Di mana letak ketidakadilannya?
Begini. Kerusuhan penonton,
kesepakatan-kesepakatan awal yang kacau, rendahnya komitmen suporter,
kebencian, dendam, dan ketidaktegasan petugas seakan tidak dibahas lebih lanjut
oleh media. Sedangkan insiden salah lirik digunakan sebagai bahan untuk
memperolok menteri lewat pemberitaan terus menerus. Karena adil adalah soal
rasa, maka bolehlah saya merasa bahwa ada yang tidak adil di situ.
Ada beberapa alasan yang memberatkan
saya untuk mendukung media mempermalukan menteri, tokoh, atau gantilah Roy
Suryo dengan orang/pejabat publik lain.
Pertama, harus diakui bahwa insiden itu
memang memalukan (Roy Suryo juga tampak grogi setelah dia sadar salah lirik),
tapi saya kok curiga ada motif lain dari media selain mempermalukan. Roy Suryo
tampaknya punya rekam jejak yang tidak begitu baik. Saya sering membaca
komentar di media online, cercaan ke dia seputar pornografi. Selain itu saya
juga mendengar dia termasuk salah satu yang bersuara (dalam arti sebenarnya)
dalam keributan di sidang DPR.
Saya melihatnya kok malah media itu
latah. Mentang-mentang jama nnya sudah lebih bebas dari Orde Baru, terus media
jadi kritikus pemerintah. Selalu. Kritik itu terus menerus diperbaharui. Terlepas
dari kualitasnya, bukankah mengkritik itu tidak sulit? Nah, kesalahan seorang
menteri ini yang lalu menjadi pintu masuk untuk mengkritik pemerintah. “Iki
lho, pemerintahmu kuwi bosok. Menterine wae ora isa nyanyi lagu kebangsaan.”
Kira-kira begitu mungkin maksudnya.
Kesalahan dalam menyanyi lagu
kebangsaan kemungkinan langsung dikaitkan dengan ‘kadar’ nasionalisme yang
cethek. Kalau memang benar begitu, menurut saya pikiran untuk mengaitkan kedua
hal itu sama cetheknya.
Kedua, pernahkah anda bicara di depan
massa? Mungkin pernah. Tapi pernahkah ada ‘beban’ di pundak anda ketika bicara
di depan massa? Maksud saya adalah, tidak bolehkah seorang menteri
grogi/ndredheg/apapun itu namanya? Menteri itu menyandang beban yang tak
ringan, bisa jadi lebih berat atau bahkan jauh lebih berat dari orang yang
kerjaannya sehari-hari tidak lebih dari mantengin smart phone atau layar
komputer sambil berkomenar menghina kerja para menteri dan pejabat publik. Apapun
partainya, siapapun orangnya, seburuk apapun jejaknya, pasti ada beban mental
yang dia terima. Atas alasan itu mungkin dia grogi lalu salah. Entah kenapa
saya lalu memberikan pemakluman atas kesalahan itu, meski tetap saja memalukan.
Saya mengimajinasikan, apa yang terjadi kalau Roy Suryo hanya duduk diam di tribun. Mungkin tetap ada saja kritik yang
datang. Namun menurut saya turun ke lapangan tetap lebih baik daripada diam.
Kedua keberatan itu lalu saya kaitkan
kembali dengan hal yang tidak dibahas lebih lanjut oleh media. Kalau saya bisa
sedikit memaklumi salah lirik, media tampaknya lebih bisa memaklumi suporter
rusuh, urakan, tidak berpendidikan, kebencian, dendam, dan rendahnya komitmen
untuk menghormati kesepakatan.
Apakah kesalahan menteri dalam lirik
ini lebih menjual daripada berita penonton rusuh? Menarik pembaca lalu
meningkatkan pemasukan iklan? Bisa jadi, dan kita tidak bisa apa-apa.
Apakah kesalahan menteri dalam lirik
ini menandakan sesuatu yang lain yang sifatnya buruk? Bisa jadi juga, dan kita
tidak bisa apa-apa juga, kecuali kita yang jadi menteri.
Jadi, saya tetap berpendapat bahwa
media tidak adil. Saya tidak suka menteri yang satu itu, dan saya juga tidak
suka dengan budaya rusuh dan bodoh yang dipelihara oknum suporter sepak bola. Itu
saja.
No comments:
Post a Comment