Skip to main content

Diskon 70% !

"Ayo belanja! Dipilih barangnya. Potongan hingga 70%! Gampang sekali, harga 100 ribu jadi 30 ribu. Harga 50 ribu jadi 15 ribu. Kalau ada acara atau janji ditunda dulu, yang penting sekarang belanja. Rugi kalau tidak belanja sekarang. Silakan yang baru datang langsung ke lantai dasar, waktunya tinggal 10 menit lagi!"

Begitu kata-kata yang saya dengar di salah satu toko pakaian di Malioboro yang sengaja saya datangi (15/12). Ada dua orang karyawan yang bicara menawarkan baju dan celana yang didiskon besar-besaran itu. Mereka masing-masing membawa microphone yang membuat suara mereka terdengar keras baik dari dalam gedung toko ataupun dari luar gedung.

"Bagi yang sudah berbelanja 100 ribu atau lebih dapat menukarkan kartu undian. Nanti malam akan diundi, yang menang dapat handphone dari kami", tambah karyawan lain.

Dua orang karyawan berbaju merah itu berdiri di antara puluhan boks tempat pakaian diletakkan. Di sekitar mereka begitu banyak tangan mengobrak-abrik tumpukan pakaian, memilih mana pakaian yang hendak mereka tukar dengan uang di saku mereka. Tangan-tangan yang bergerilya hingga ujung dasar boks itu milik laki-laki dan perempuan, berumur belasan tahun hingga lanjut usia. Kebetulan saat itu saya melihat wanita yang sudah tua ada di antara mereka.

"Mari dipilih, eyang. Mau cari apa? Untuk cucu atau eyang kakung?", tanya salah satu karyawan pemegang microphone kepada wanita tua tadi.

Wanita itu hanya tersenyum sembari sibuk mencari pakaian yang sesuai. Sama seperti remaja perempuan berpakaian ketat di sebelah dia berdiri. Tak kalah "ganas".

Saya tertarik melihat pemandangan ini. Sebelumnya saya hanya menemani pacar di lantai dua. Namun, suara-suara yang sangat persuasif, kalau tidak bisa dibilang provokatif, itu mengusik rasa ingin tahu saya. Saya benar-benar ingin tahu, apakah suara ramai bersahut-sahutan seperti ini membuat mereka-mereka yang mau beli pakaian itu terhipnotis, kemrungsung, dan memborong pakaian-pakaian di sana. Lalu saya hanya terpana ketika saya tahu jawabnya.

Anda pasti tahu dan akrab dengan yang namanya "Christmas Sale". Ya, intinya barang-barang yang dijual dengan diskon-diskon yang tidak sebesar biasanya menjelang hari raya Natal. Atau lebih tepatnya menjelang tutup tahun, bukan perayaan Natal itu sendiri. Suasananya hampir sama ketika menjelang Idul Fitri, namun tidak seramai bulan puasa itu.

Sebenarnya saya mau menulis tentang ideologi kapitalisme, yang dengan tangan-tangan industrinya mampu mempengaruhi perilaku masyarakat untuk mengkonsumsi barang hasil produksi pabrik-pabrik dengan jumlah besar. Tapi itu sudah biasa. Tak hanya itu, tak juga ada hasilnya. Tiap tahun selalu seperti ini.

Bukankah jika Anda dan saya berkomentar prihatian atau bahkan sinis dengan fenomena ini orang akan dengan mudah bilang: "Suka-suka gue! Duit duit gue, baju baju gue, kenapa elu yang sewot?!"

Oh ya, bicara tentang tutup tahun, saya baru saja menyadari ada satu hal lain yang hampir selalu ada selain diskon besar-besaran: pengaspalan jalan. Bolehlah bersyukur menikmati jalan yang menjadi lebih halus dan manusiawi. Boleh juga kita bertanya, kenapa akhir tahun? Menghabiskan anggaran?

Ah, jangan terlalu kritis sama pemerintah. Jalan dibikin enak kok malah mikir yang tidak-tidak tentang anggaran. Pemerintah kan pasti punya rencana-rencana tertulis yang rapi untuk perbaikan di sana-sini, pun juga dengan biaya yang dibutuhkan. Yang penting dijalankan semua, anggaran terpakai, besok dianggarkan lebih besar supaya lebih berguna bagi masyarakat. Begitu kan ya? Iya ah, begitu.

Sudahlah, saya melanjutkan aktivitas saya dulu.

"Mas, celana E*BA ini juga diskon 70%?", tanya saya ke mas pemegang microphone.

(Enggak ding, yang terakhir tadi mung gojeg..)

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.