12 December 2013

Kamu laki-laki?

Saya menjalin pertemanan dengan seorang teman SMP di jejaring Facebook. Dia punya badan besar, tidak terlalu tinggi, tapi besar dan kesannya "tebal". Tampaknya dia tumbuh di lingkungan yang keras. Pernah beberapa kali saya melihat dia menarik kerah baju teman-teman saya -- yang memang sering jadi korban bullying. Dia mengancam dengan kata-kata kasar. Pernah juga sekali saya lihat dia memukul muka teman saya yang lain itu. Tanpa perlawanan.

Dia mengisi status Facebook dengan kata-kata yang (menurut saya) tidak pantas. Misalnya, dia menuliskan kekesalannya kepada pacarnya lewat status. Dia mengeluh berbagai macam hal, sering-seringnya tentang teman yang tidak ada di sampingnya ketika dia sedang ada masalah. Dia juga sering sesumbar, menulis kata penuh ancaman kepada seseorang yang menurut dia bermasalah dengan dirinya.

Tapi bukan itu yang ingin saya tulis, ada hal lain. Suatu saat dia sesumbar, menantang berkelahi seseorang. Ada beberapa kata-kata yang menarik, misalnya: "yen pancen kowe lanang" (kalau memang kamu laki-laki) dan "gantinen wae katokmu dadi rok" (ganti saja celanamu dengan rok). Kata-kata itu ditujukan untuk seseorang yang kabur, yang dianggap takut menanggapi tantangan berkelahi.

Mungkin bukan hanya teman itu yang bilang. Saya sering mendengar ungkapan laki-laki yang tidak menanggapi tantangan berkelahi atau dianggap tidak mau bertanggungjawab: banci. Pokoknya bukan lanang, bukan laki-laki, tidak gentle. Begitu.

Kalau maksud dari kata-kata itu adalah menghina dan merendahkan, apakah itu berarti di bawah laki-laki ada perempuan begitu?

Kalau begitu, sebenarnya itu kata-kata yang merendahkan perempuan atau tidak sih? Perempuan dianggap tidak berani bertanggungjawab, menanggung risiko, hanya bicara saja yang dibesarkan. Masa sih begitu?

Budaya patriarki memang kuat sekali. Mereka yakin sekali bahwa posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan itu adalah hal yang natural, alamiah, dan memang seharusnya begitu. Ideologi feminisme juga dihadang dengan satu pertanyaan sinis: kalau sudah setara lalu mau apa?

Saya tak pernah tahu jawabnya, karena saya bukan feminis. Tapi saya tertarik saja memikirkan kemungkinan-kemungkinan jawaban dari pertanyaan tadi. Sayangnya, saya jarang berminat membaca buku-buku tentang kajian ini.

Namun saya penasaran untuk merenung, apa sih yang salah dengan perempuan? Nah, kok ya kebetulan siang tadi saya berkunjung ke food court UGM. Di sana ada pemandangan yang khas sekali. Di salah satu meja berkumpullah para ibu penjual makanan di sana, mereka perempuan semua (ya iyalah).

Mereka duduk melingkar, bicara tentang entah keadaan atau seseorang dengan nada yang marah. Seorang ibu terlihat dominan dan terlihat ingin ngomel terus. Ketika melihat aktivitas ibu-ibu itu akan sangat mudah bagi kita untuk mengatakan mereka itu ngerumpi tidak jelas (ngalor ngidul kata orang Jawa) dan ngrasani wong (membicarakan keburukan seseorang).

Apakah yang seperti ini sosok perempuan yang dimaksud oleh teman saya tadi? Hanya mau mengomel, bicara di belakang sampai berbusa-busa, dan hal yang dianggap rendah yang lain. Kalau iya, kasihan sekali perempuan-perempuan seperti ibu saya. Beliau juga berbusa-busa, di depan mahasiswa, di ruang sidang pendadaran skripsi dan tesis, di bangsal rumah sakit. Atau seperti ibu-ibu lain yang menawarkan dagangan atau jasa demi menghidupi keluarganya.

Mereka ini tidak ngomel-ngomel, dan yang jelas, tidak pantas untuk dianggap rendah. Apalagi oleh teman saya yang itu tadi. Juga oleh orang lain yang dengan enteng sekali bilang: "yen nyata kowe lanang", "lanang kok nangis", "lambe lanang kok crigis kaya wedhok", dan sebagainya.

Sebentar, jangan-jangan lewat tulisan ini saya dianggap cuma bisa ngomel dan hanya berani bicara di belakang? Ah. Sudahlah. Saya mau menjelma sebagai laki-laki lagi. Sapa wani gelut karo aku? Halah.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain