S
ore tadi sampai
rumah saya langsung ke jalan depan rumah. Kotor sekali. Daun-daun gugur
berserakan, bercampur abu vulkanik Gunung Kelud yang tak kunjung menghilang
jika tidak dengan sengaja dibuang. Seketika saya ambil sapu lidi dan mulai
menyapu –hal yang jarang saya lakukan. Seketika itu juga tetangga-tetangga
langsung bilang “Tumben nyapu..?”
Memang, saya
jarang membersihkan bagian depan rumah. Biasanya bapak yang menyapu pagi-pagi,
kalau sedang tidak ada garapan di komputer. Balik ke kata tetangga tadi, saya
sih cuek, tidak peduli, dan ‘ora urusan’ ketika tetangga bilang “tumben”. Tapi untuk
orang-orang tertentu, rasanya kita harus berhati-hati untuk mengucapkan kata
itu.
Pernah ada cerita
di lingkungan (lingkungan agama Katolik maksudnya). Ada seorang warga yang
jarang aktif datang doa lingkungan ataupun kegiatan-kegiatan lingkungan. Suatu
ketika ia datang dalam acara lingkungan dan langsung disambut dengan
pertanyaan-pertanyaan macam “tumben” itu. Bukan saya bermaksud merendahkan,
tapi biasanya ibu-ibu yang bertanya. Mungkin karena mereka ini lebih ramah dan
lebih perhatian dengan orang lain ya. Bukan untuk bahan gosip lho, bukan itu.
Tapi tanpa diduga, ternyata ia sakit hati dengan pertanyaan-pertanyaan macam “tumben”.
Saya
mengimajinasikan dia ngomel begini: “Sekalinya dateng malah dikatain tumben. Di
depan orang-orang pula. Niatnya mau aktif, aku malah jadi ilfeel.”
Singkat cerita,
semenjak kejadian itu ia makin jarang datang dan aktif di kegiatan lingkungan. Warga
lalu berkomitmen bersama untuk tidak mengatakan “tumben” pada warga jarang
aktif yang suatu saat datang dalam acara lingkungan. Kata “tumben” ini kadang
bukan jadi pemicu dan pemacu, justru jadi pembunuh yang tanpa ampun.
Hati-hatilah dengan
kata “tumben”.
No comments:
Post a Comment