B
anyak akun
twitter dan facebook (dan akun-akun
jejaring sosial lain) yang menyindir perilaku orang-orang setelah ada gempa.
Apakah itu? Betul. Menulis di twitter atau update status di facebook. Sekasar
apapun orang menyindir, nyatanya tetap ada yang update status semacam itu.
Sumber |
Hari ini (23/1)
saya merasakan gempa bumi. Ada dua perilaku khas manusia-manusia di sekitar
saya yang saya amati setiap setelah gempa (kebetulan saya beberapa kali
mengalami gempa). Pertama adalah seperti yang sudah ditulis tadi: update status
di media sosial. Kedua, ini yang mungkin tidak dialami oleh yang lain, tetangga
depan rumah langsung panik. Mereka berteriak-teriak. Tidak hanya itu, mereka
kemudian berkumpul dan masing-masing seakan menunggu giliran bercerita tentang pengalaman
gempa masing-masing. Lalu mereka bercerita dengan bumbu masing-masing. Hampir
pasti mereka mengaitkannya dengan pengalaman gempa yang mereka alami pada tahun
2006.
Namun bukan itu
perilaku yang ingin saya bahas di sini. Ada yang lebih parah, yaitu perilaku
media online. Sayang sekali, media online ini adalah yang menjadi salah satu
subjek penelitian saya: Detik.com
Silakan simak
artikel berikut:
Sabtu, 25/01/2014 12:25 WIB
Gempa Yogya Terasa Sampai Jakarta
Elvan Dany Sutrisno - detikNews Jakarta - Siang ini, gempa melanda sejumlah wilayah di Yogyakarta. Getaran gempa tersebut terasa sampai Jakarta.Gempa ini dirasakan di lantai 4 Gedung Aldevco Octagon, Jl Warung Buncit, Jakarta Selatan, Sabtu (25/1/2014).Getaran gempat cukup kencang. Karyawan di lantai 4 gedung tersebut sampai turun ke halaman karena merasakan guncangannya.
Pembaca detikcom di Jakarta Barat juga merasakan gempa ini. "Gempa terasa cukup kencang," kata salah seorang pembaca detikcom yang tinggal di kawasan Grogol, Jakarta Barat.Pusat gempat dan skala getarannya sampai sekarang belum diketahui.
Sumber
Lalu coba Anda
bandingkan dengan informasi yang diposting oleh akun twitter @infoBMKG:
Gempa Mag:6.5 SR,25-Jan-14 12:14:20 WIB,48 Km,(104 km BaratDaya KEBUMEN-JATENG )
Sumber
Mari kita bahas!
Pertama, waktu.
Menurut BMKG,
waktu gempa terjadi pukul 12:14:20 WIB. Sedangkan waktu postingan berita di
Detik.com menunjuk pukul 12:25 WIB. Andaikan setelan waktu yang mereka gunakan
ini sama, berarti ada selisih kurang lebih 10 menit setelah gempa dan
pemberitaan. Waktu 10 menit ini dikurangi dengan waktu yang dibutuhkan wartawan
untuk menyusun tulisan. Artinya Detik.com punya waktu kurang dari 10 menit
untuk memproduksi sebuah "berita" khas media online atas sebuah
kejadian yang menimpa sebagian wilayah Jawa.
Bisa ditebak kan, bagaimana
kualitas "berita" itu? Masalah waktu ini lalu terkait dengan
masalah-masalah lain di bawah.
Kedua,
keakuratan.
Ini lucu.
Detik.com tampak terburu-terburu membuat berita. Judulnya saja sudah sangat
mengganggu: "Gempa Yogya Terasa Sampai Jakarta". Gempa Yogya? Redaksi
Detik.com patut diacungi jempol ke bawah. BMKG sudah menginformasikan bahwa
pusat gempa berada di 104 km sebelah Barat Daya Kebumen, Jawa Tengah. Kalau
saya tidak salah lihat peta, itu berada di laut. Menyebut bahwa gempa ini
adalah Gempa Yogya merupakan dosa jurnalisme yang berat untuk sebuah media
online sebesar Detik.com. Mereka tidak pakai sumber yang jelas! Bagaimana publik bisa percaya pada media ini kalau perilakunya
demikian?
Yang menarik lagi adalah kalimat terakhir pada berita: Pusat gempa
dan skala getarannya sampai sekarang belum diketahui. Artinya sudah jelas,
mereka tidak tahu! Kalau tidak tahu, bagaimana bisa menyebut gempa ini Gempa
Yogya?!
Saya punya dugaan
begini (perhatikan, dengan jujur saya menyebut ini dugaan). Pihak redaksi
memang tidak memperhatikan keakuratan, seakan-akan mereka hanya ingin agar
Detik.com ini update tiap detik. Ada gempa, langsung diberitakan. Mungkin
karena ada wartawan yang berada di Jogja dan merasakan gempa itu di Jogja,
mereka langsung menggunakan asumsi bahwa gempa itu Gempa Yogya. Andaikata
wartawan ini tidak di Jogja tapi berada di Solo, Magelang, Tasikmalaya, Brebes, atau
daerah manapun yang turut merasakan,
apakah namanya tetap menjadi Gempa Yogya? Entahlah. Yang jelas istilah
"Gempa Yogya" ini lebih merupakan sebuah pengulangan. Frasa yang dulu
pernah digunakan ketika tahun 2006. Dan rasa-rasanya ini yang lebih menjual
daripada Gempa Solo, misalnya.
Ketiga, informasi
yang ada di artikel berita.
Jika
diperhatikan, apa sih informasi yang ada di artikel itu? Intinya ada gempa di
Yogyakarta, lalu getarannya sampai Jakarta. Informasi macam apa ini? Apa yang
diharapkan dari Detik.com setelah ribuan orang mengetahui informasi ini?!
Saya tidak ingin
membahas lagi. Banyak sih yang bisa dibahas, apalagi kalau kita merujuk pada Sembilan Elemen Jurnalisme --yang katanya sekarang sudah menjadi Sepuluh. Sebagai pembaca Detik.com (dan media-media online lain), saya
kecewa dengan berita ini.
Media online, cerdaslah!
No comments:
Post a Comment