"Tak beleh kowe! Tak beleh
tenan!" teriak seorang pemuda berbadan kurus dan berkulit hitam sambil
berjalan lewat depan rumah.
Cara jalannya khas: cepat, dengan
sandal yang diseret. Kadang dia pakai celana pendek, kadang celana panjang,
yang selalu dia pakai adalah kaos yang selalu tampak kebesaran. Kami memanggil
pemuda itu Gombloh.
Dulu Gombloh tidak tinggal di dusun
kami, sejak kecil dia tinggal di dusun sebelah. Tapi entah kapan dan kenapa
saya tidak tahu, bapaknya pindah ke dusun ini.
Gombloh adalah pemuda yang memiliki
kelainan mental. Saya tidak tahu apa istilah yang tepat untuk dia. Dilihat dari
fisik sebenarnya sudah tampak, kepalanya terlihat berukuran lebih kecil dari
ukuran yang normal.
Kekurangannya itulah yang sering
dipakai mainan oleh orang lain. Dulu pernah dia bikin ulah lalu muntah-muntah
di tengah-tengah acara di dusun. Ternyata dia habis dicekoki minuman keras oleh
para pemuda. Tak jelas apa maksudnya, mungkin untuk lucu-lucuan saja --yang
jelas tak lucu jadinya.
Olok-olokan dan makian sering
dilontarkan pada Gombloh. Parahnya, Gombloh juga bisa meniru kata-kata kasar
yang diungkapkan kepadanya. Dia teriakkan kata-kata kasar itu sepanjang jalan
untuk mengungkapkan amarahnya ketika habis diganggu orang.
Pernah suatu kali dia berteriak
"Gawuk!!" berulang-ulang sambil jalan.
Dia sudah tidak memiliki ibu. Ibunya
sudah meninggal beberapa tahun lalu. Namun saya sering mendengar dia bilang
"Tak andake mbokku kowe!" (Kamu akan saya adukan ke ibu!) Itulah
kata-kata yang sering dia ucapkan ketika sedang kesal.
Sekitar dua tahun lalu Gombloh pernah
hilang selama kurang lebih sebulan. Dia dibonceng oleh seorang kawannya naik
sepeda ke arah selatan. Kawan dia itu tampaknya bukan orang baik. Karena
cemburu ketika suatu saat Gombloh menerima kebaikan dari orang lain, kawan
Gombloh ini menurunkan paksa Gombloh di jalanan. Kawan itu pulang, Gombloh
ditinggal di jalan, dan tak tahu jalan pulang.
Penduduk dusun sempat geger. Semua
mencari informasi, memberitahu para kenalan supaya segera menghubungi jika
melihat orang dengan ciri-ciri seperti Gombloh berjalan linglung tak tahu arah
di jalan raya.
Karena suatu kejadian, Gombloh
akhirnya dikenali dan dijemput pulang. Namun awalnya dia tidak mau pulang. Dia
takut kalau pulang dipukuli oleh bapaknya. Untung ketakutannya tidak terjadi,
karena bapaknya menangis terharu.
Ketika Gombloh kembali, makian dia
makin sering didengar. Tiap hari, dan tidak hanya satu kali, Gombloh lewat
depan rumah sambil marah-marah. Kalau di rumah sedang ada tamu, pasti tamu itu
tampak kaget. Mereka bakal mengira sedang ada ribut-ribut di tempat tinggal
kami.
Keluarga saya sebenarnya terganggu.
Suara teriakan dan makian dia kadang mengganggu suasana yang sedang dibutuhkan
di dalam rumah. Tapi mau bagaimana lagi, Gombloh tetaplah Gombloh.
Yang saya hampir yakin adalah dia
tidak pernah melihat video atau melihat langsung seseorang yang disembelih di
lehernya. Dia tidak pernah mendengar langsung teriakan ketakutan yang kemudian
hilang, diganti suara darah yang muncrat dari leher orang itu.
Sadis? Iya. Mungkin sebagian dari anda
sudah pernah melihat video-video semacam ini. Parahnya adalah gambaran ini yang
selalu muncul dalam benak saya tiap Gombloh berteriak "Tak beleh!"
Namun saya berpikir, betapa beratnya
hidup ini jika dikendalikan oleh omongan orang lain. Apalagi oleh omongan orang
yang "pekok", "idiot", atau istilah lain yang lebih tepat
untuk Gombloh. Jelas mereka tidak paham bagaimana kata-kata yang mereka umbar
akan diberi makna buruk oleh banyak orang, dan bagaimana pemaknaan itu
mempengaruhi hidup mereka.
Terimakasih, Gombloh, kamu sudah mengajari
hal ini. Jika suatu saat kamu membaca
tulisan ini, tolong jangan sembelih aku.
No comments:
Post a Comment