25 January 2014

Menapaki Sandingan Merapi

Sabtu (18/1) lalu saya mampu menjawab pertanyaan yang selalu menghantui ketika akan terlelap: hari ini hal baru apa yang kamu lakukan?

Pagi itu mendung, seperti pagi-pagi sebelumnya. Langit terlihat putih dari ujung ke ujung. Tidak ada tanda-tanda akan cerah.

Kami janjian: kalau jam tujuh cerah, kita berangkat; tapi kalau gerimis, kita batalkan. Saat itu pukul tujuh tidak cerah, tidak juga gerimis. Dengan segala resiko di perjalanan, kami memutuskan untuk berangkat.

Pukul setengah delapan pagi saya keluar dari rumah. Naik Supra X merah-hitam, membawa tas punggung lawas berisi termos dan kamera. Sepeda motor ini mampir ke sebuah rumah di Pogung, lalu menuju sebuah rumah milik keluarga teman di Pakem. Menjelang sampai Rumah Sakit Panti Nugroho tiba-tiba gerimis turun. Tanpa berhenti saya lanjut saja ke tujuan awal. Untunglah  hujan tadi hanya sebentar, sekitar pukul sembilan matahari sedikit muncul.


Dari Pakem itulah perjalanan dimulai. Kami berempat: Warih, Yulia, Vita, dan saya, akan jalan-jalan menuju puncak Bukit Turgo. Saya pernah melihat bukit ini dari Puncak Gunung Api Purba Nglanggeran. Letaknya persis di sebelah Gunung Merapi.


Kami mengikuti jalan aspal yang menanjak dan sedikit berkelok, lalu sampai di rumah terakhir sebelum ke jalur peziarah naik berjalan kaki menuju puncak Bukit Turgo. Ternyata bukit ini memang dipakai tempat ziarah oleh orang-orang. Setelah kendaraan diparkirkan di parkiran depan rumah, kami menuju ke dalam rumah untuk mendaftarkan diri. Di sana tertempel foto-foto pemandangan di sekitar puncak Gunung Merapi.

Ketika mengisi buku tamu, saya agak terkejut. Bukit ini tampaknya cukup jarang dikunjungi. Hari terakhir dikunjungi adalah beberapa hari yang lalu, kalau saya tidak salah ingat tanggal 14 Januari. Kami segera merampungkan dan membayar seribu rupiah per orang.

Kami mulai berjalan dari rumah itu. Baru sekitar dua menit berjalan kami sampai di sebuah reruntuhan rumah. Bagian yang tersisa hanya tinggal dinding luar dan lubang jendela. Awalnya biasa saja, namun setelah melihat di dalamnya ada taburan bunga, kami lalu "kula nuwun" dan bersikap sopan di sana.


Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak menaiki sepeda motor melaju dari bawah menuju arah kami. Ternyata dia menuju ke sebuah reruntuhan juga, beberapa meter di samping reruntuhan rumah. Ada dua pintu, yang kiri terbuka. Ternyata bangunan itu adalah kamar mandi.


Kami bergantian masuk ke dalam kamar mandi itu untuk mengeluarkan zat-zat yang harus dikeluarkan. Ketika masuk saya melihat ukurannya cukup luas. Ada sebuah bak dan sebuah gayung, namun yang menarik adalah kita tidak akan menemukan lubang WC ataupun lubang air yang di lantai. Ada toilet jongkok, tapi lubangnya sudah ditutupi oleh batu bata dan semen-semen. Oh ya, kamar mandi itu juga tidak beratap.

"Kalau mau naik lewat sini saja, kalau lewat sana itu njenengan lewat perengan, licin dan bahaya. Kalau mau jalan harus saling mengingatkan", kata bapak tadi.

Memang ada dua jalan sepertinya. Jalan yang sebelah kanan sudah diberi petunjuk, ada tulisan: MAKAM. Sedang jalan yang sebelah kiri tidak kami lihat, tapi jalan itulah yang disarankan oleh bapak tadi. Karena bingung, kami memutuskan untuk jalan ke arah kanan, yang sudah jelas ada petunjuknya. 


Tanjakan pun dimulai. Kami berjalan pelan, teratur, sambil bercanda tapi tetap waspada. Medannya tanah, batu, dan akar, rasanya lebih alami bila dibandingkan dengan Gunung Api Purba Nglanggeran. Medan tidak begitu sulit, tapi bila tidak berhati-hati bisa terpeleset ke bawah dan saya  yakin akibatnya bisa fatal.

Sekitar satu jam mendaki (sambil banyak beristirahat) tiba-tiba gerimis datang. Ah, ini pertama kalinya saya kehujanan ketika sedang mendaki. Kami terus jalan mencari tempat yang rindang dan tidak ada angin yang membuat kami basah. Oh ya, meski "hanya" bukit, kami masing-masing bawa mantol untuk jaga-jaga ketika cuaca menjadi seperti ini.

Gerimis datang pergi selama kami berjalan. Setelah kira-kira setengah jam, sampailah kami ke persimpangan yang membingungkan. Jika kami lurus, kami akan sampai ke sebuah gua. Ketika pertama kali melihat gua itu rasanya ada ketakutan di dalam hati. Ada pertanyaan-pertanyaan, apakah di gua itu ada orangnya, apakah ada sesuatu yang berbahaya atau menakutkan di sana, dan belasan pertanyaan lain. Dari mulut gua itu kelihatan bahwa di ujung sana ada mulut gua lagi.

Simpangan satunya ke kanan, jalurnya curam ke atas. Untung ada tali-tali yang memang sengaja dipasang untuk membantu orang menuju ke atas. Saya lalu mencoba ke atas, setelah dari tadi berada di paling belakang, kini saya menjadi di paling depan. Ternyata benar, itu adalah puncak yang kami cari. Ada apa di puncak? Ada makam. Puncak Bukit Turgo adalah sebuah makam. Di sekitarnya ada tempat datar kira-kira berukuran lima kali enam meter yang dikitari oleh pagar pengaman. Ya, itu adalah puncak Bukit Turgo. Makam inilah yang dimaksud oleh papan petunjuk bertuliskan "MAKAM" di awal pendakian.

Kami lalu berjalan-jalan di sekitar makam. Di sebelah tapak lautan pasir yang menggunung sangat tinggi. Itu memang Gunung Merapi. Warih, yang lebih kenal daerah sekitar Merapi, menjelaskan bahwa ada dua sungai dari puncak, Boyong dan Gendol. Bagaimana kedua sungai itu mengalirkan endapan vulkanik dari sang gunung, ke mana jalurnya, dan hal-hal lain yang baru saya saya tahu.

Kami lalu turun dan istirahat di mulut gua. Mantol jadi alas duduk kami. Kami juga segera mengalasi perut dengan teh dari termos dan makanan dari rumah Warih (arem-arem, cucur, dan makanan warna merah). Kami harus berutang ribuan terimakasih pada ibunya Warih :D

Setelah cukup kuat, kami berjalan turun dan berjanji: kelak akan naik bukit Turgo lagi dengan membawa kantung plastik sampah yang berukuran besar. Di sana banyak sampah yang mengganggu keindahan.

Secara keseluruhan, saya merasa perlu berutang budi pada orangtua Warih yang menyediakan sangu ketika perjalanan, dan makan siang ketika sampai bawah. Semoga keluarga ini selalu diberkati Tuhan.


Oh ya, dari beliau-beliau juga kami tahu bahwa pada tahun 1996 Gunung Merapi mengeluarkan awan panas yang melewati pemukiman warga sekitar Bukit Turgo. Entah ada berapa nyawa yang menghadap Sang Akarya Jagad akibat awan panas itu. Yang akhirnya kami tahu, reruntuhan rumah di awal pendakian itu adalah saksinya. Saya hanya bisa membayangkan apa yang terjadi di rumah itu. Mengapa sampai ada orang yang memberi taburan bunga pada lantai di dalamnya.

Foto-foto:





No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain