Sabtu (18/1) lalu saya mampu menjawab
pertanyaan yang selalu menghantui ketika akan terlelap: hari ini hal baru apa
yang kamu lakukan?
Pagi itu mendung, seperti pagi-pagi
sebelumnya. Langit terlihat putih dari ujung ke ujung. Tidak ada tanda-tanda
akan cerah.
Kami janjian: kalau jam tujuh cerah,
kita berangkat; tapi kalau gerimis, kita batalkan. Saat itu pukul tujuh tidak
cerah, tidak juga gerimis. Dengan segala resiko di perjalanan, kami memutuskan
untuk berangkat.
Pukul setengah delapan pagi saya
keluar dari rumah. Naik Supra X merah-hitam, membawa tas punggung lawas berisi
termos dan kamera. Sepeda motor ini mampir ke sebuah rumah di Pogung, lalu
menuju sebuah rumah milik keluarga teman di Pakem. Menjelang sampai Rumah Sakit
Panti Nugroho tiba-tiba gerimis turun. Tanpa berhenti saya lanjut saja ke
tujuan awal. Untunglah hujan tadi hanya
sebentar, sekitar pukul sembilan matahari sedikit muncul.
Dari Pakem itulah perjalanan dimulai.
Kami berempat: Warih, Yulia, Vita, dan saya, akan jalan-jalan menuju puncak
Bukit Turgo. Saya pernah melihat bukit ini dari Puncak Gunung Api Purba
Nglanggeran. Letaknya persis di sebelah Gunung Merapi.
Kami mengikuti jalan aspal yang
menanjak dan sedikit berkelok, lalu sampai di rumah terakhir sebelum ke jalur
peziarah naik berjalan kaki menuju puncak Bukit Turgo. Ternyata bukit ini
memang dipakai tempat ziarah oleh orang-orang. Setelah kendaraan diparkirkan di
parkiran depan rumah, kami menuju ke dalam rumah untuk mendaftarkan diri. Di
sana tertempel foto-foto pemandangan di sekitar puncak Gunung Merapi.
Ketika mengisi buku tamu, saya agak
terkejut. Bukit ini tampaknya cukup jarang dikunjungi. Hari terakhir dikunjungi
adalah beberapa hari yang lalu, kalau saya tidak salah ingat tanggal 14
Januari. Kami segera merampungkan dan membayar seribu rupiah per orang.
Kami mulai berjalan dari rumah itu.
Baru sekitar dua menit berjalan kami sampai di sebuah reruntuhan rumah. Bagian
yang tersisa hanya tinggal dinding luar dan lubang jendela. Awalnya biasa saja,
namun setelah melihat di dalamnya ada taburan bunga, kami lalu "kula
nuwun" dan bersikap sopan di sana.
Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak
menaiki sepeda motor melaju dari bawah menuju arah kami. Ternyata dia menuju ke
sebuah reruntuhan juga, beberapa meter di samping reruntuhan rumah. Ada dua
pintu, yang kiri terbuka. Ternyata bangunan itu adalah kamar mandi.
Kami bergantian masuk ke dalam kamar
mandi itu untuk mengeluarkan zat-zat yang harus dikeluarkan. Ketika masuk saya
melihat ukurannya cukup luas. Ada sebuah bak dan sebuah gayung, namun yang
menarik adalah kita tidak akan menemukan lubang WC ataupun lubang air yang di
lantai. Ada toilet jongkok, tapi lubangnya sudah ditutupi oleh batu bata dan
semen-semen. Oh ya, kamar mandi itu juga tidak beratap.
"Kalau mau naik lewat sini saja,
kalau lewat sana itu njenengan lewat perengan, licin dan bahaya. Kalau mau
jalan harus saling mengingatkan", kata bapak tadi.
Memang ada dua jalan sepertinya. Jalan
yang sebelah kanan sudah diberi petunjuk, ada tulisan: MAKAM. Sedang jalan yang
sebelah kiri tidak kami lihat, tapi jalan itulah yang disarankan oleh bapak
tadi. Karena bingung, kami memutuskan untuk jalan ke arah kanan, yang sudah
jelas ada petunjuknya.
Tanjakan pun dimulai. Kami berjalan
pelan, teratur, sambil bercanda tapi tetap waspada. Medannya tanah, batu, dan
akar, rasanya lebih alami bila dibandingkan dengan Gunung Api Purba
Nglanggeran. Medan tidak begitu sulit, tapi bila tidak berhati-hati bisa
terpeleset ke bawah dan saya yakin
akibatnya bisa fatal.
Sekitar satu jam mendaki (sambil
banyak beristirahat) tiba-tiba gerimis datang. Ah, ini pertama kalinya saya
kehujanan ketika sedang mendaki. Kami terus jalan mencari tempat yang rindang
dan tidak ada angin yang membuat kami basah. Oh ya, meski "hanya"
bukit, kami masing-masing bawa mantol untuk jaga-jaga ketika cuaca menjadi
seperti ini.
Gerimis datang pergi selama kami
berjalan. Setelah kira-kira setengah jam, sampailah kami ke persimpangan yang
membingungkan. Jika kami lurus, kami akan sampai ke sebuah gua. Ketika pertama
kali melihat gua itu rasanya ada ketakutan di dalam hati. Ada
pertanyaan-pertanyaan, apakah di gua itu ada orangnya, apakah ada sesuatu yang
berbahaya atau menakutkan di sana, dan belasan pertanyaan lain. Dari mulut gua
itu kelihatan bahwa di ujung sana ada mulut gua lagi.
Simpangan satunya ke kanan, jalurnya
curam ke atas. Untung ada tali-tali yang memang sengaja dipasang untuk membantu
orang menuju ke atas. Saya lalu mencoba ke atas, setelah dari tadi berada di
paling belakang, kini saya menjadi di paling depan. Ternyata benar, itu adalah
puncak yang kami cari. Ada apa di puncak? Ada makam. Puncak Bukit Turgo adalah
sebuah makam. Di sekitarnya ada tempat datar kira-kira berukuran lima kali enam
meter yang dikitari oleh pagar pengaman. Ya, itu adalah puncak Bukit Turgo. Makam
inilah yang dimaksud oleh papan petunjuk bertuliskan "MAKAM" di awal
pendakian.
Kami lalu berjalan-jalan di sekitar
makam. Di sebelah tapak lautan pasir yang menggunung sangat tinggi. Itu memang
Gunung Merapi. Warih, yang lebih kenal daerah sekitar Merapi, menjelaskan bahwa
ada dua sungai dari puncak, Boyong dan Gendol. Bagaimana kedua sungai itu
mengalirkan endapan vulkanik dari sang gunung, ke mana jalurnya, dan hal-hal
lain yang baru saya saya tahu.
Kami lalu turun dan istirahat di mulut
gua. Mantol jadi alas duduk kami. Kami juga segera mengalasi perut dengan teh
dari termos dan makanan dari rumah Warih (arem-arem, cucur, dan makanan warna
merah). Kami harus berutang ribuan terimakasih pada ibunya Warih :D
Setelah cukup kuat, kami berjalan
turun dan berjanji: kelak akan naik bukit Turgo lagi dengan membawa kantung
plastik sampah yang berukuran besar. Di sana banyak sampah yang mengganggu
keindahan.
Secara keseluruhan, saya merasa perlu
berutang budi pada orangtua Warih yang menyediakan sangu ketika perjalanan, dan
makan siang ketika sampai bawah. Semoga keluarga ini selalu diberkati Tuhan.
Oh ya, dari beliau-beliau juga kami
tahu bahwa pada tahun 1996 Gunung Merapi mengeluarkan awan panas yang melewati
pemukiman warga sekitar Bukit Turgo. Entah ada berapa nyawa yang menghadap Sang
Akarya Jagad akibat awan panas itu. Yang akhirnya kami tahu, reruntuhan rumah
di awal pendakian itu adalah saksinya. Saya hanya bisa membayangkan apa yang
terjadi di rumah itu. Mengapa sampai ada orang yang memberi taburan bunga pada
lantai di dalamnya.
Foto-foto:
No comments:
Post a Comment