Skip to main content

Jadi Saksi

"Gini enak. Kerja enggak sampai setengah hari udah dapet duit," kata mas-mas berbadan tambun itu tersenyum. Beberapa kali dia mengusap keringat dari dahinya. Cuaca siang itu memang panas, meski angin besar sering datang.



Saya lupa namanya. Dia tinggal di daerah Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Badannya gemuk berlemak, ketika duduk lipatan perut dan pinggangnya seakan menekan ingin keluar dari kemeja coklat yang dia pakai.

Dia duduk di kursi belakang. Waktu itu pemungutan suara di TPS 057 Kebon Melati sudah mau berakhir. Kebetulan tanggal 9 April 2014 itu saya lagi nongkrong di TPS untuk cari duit (baca: bikin berita reportase).

Ketika pemungutan suara ditutup oleh ketua TPS, ia lalu mengenakan rompi kuning dan duduk di kursi yang disediakan untuk saksi. Iya, dia saksi di TPS 057 untuk Partai Golkar. Di sampingnya ada temannya, saksi juga, dari partai lain.

"Awalnya sih enggak tertarik. Tapi karena diajak temen ya mau aja," ujarnya. Saya tanya ke dia, kenapa mau jadi saksi? Umurnya masih muda, sekitar 25 tahun. Teman di sampingnya juga seumuran.

Dia juga bilang dengan eksplisit ke saya kalau dia kagum sama ARB. Katanya ARB itu kaya, banyak duit. ARB punya bisnis di mana-mana baik lokasi maupun bidang bisnisnya. Dia bilang ARB cocok jadi Presiden RI. Saya mengiyakan saja sambil manggut-manggut.

Ini pertama kali dia jadi saksi. Enak katanya. Dia merasa beruntung bisa punya pengalaman jadi saksi. "Biar besok lagi kalau ada pemilu udah punya pengalaman," tuturnya.

Saksi-saksi dari Partai Golkar ini katanya sudah dipersiapkan seminggu dua minggu sebelumnya. Mereka diminta berkumpul di daerah Benhil (Bendungan Hilir). Waktu koordinasi itu mereka sudah dapat makan siang dan uang transport. Kalau saya tidak salah ingat, jumlahnya Rp100.000 tunai. Lumayan katanya.

Dari obrolan selama kira-kira setengah jam saya punya gambaran seberapa jauh dia memahami politik, Golkar, ARB, dan --yang lebih penting-- duit yang bakal dia ambil setelah jadi saksi. Ya jelas, tidak sedalam dan sejauh yang saya kira. Kemungkinan besar, anda juga akan berpikir begitu.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.