12 April 2014

Seribu Tahun Nusantara Berdagang

JAKARTA—Udara di pintu masuk sebelah selatan stasiun Gambir siang itu (5/4) terasa gerah dan kering. Pepohonan yang berjejer di sekitar stasiun rasanya tidak membuat udara menjadi lebih segar dan sejuk. Satu-satunya tempat sejuk di dekat pintu masuk itu adalah di dalam minimarket yang gerainya sudah menjamur di penjuru ibukota. Di dalamnya dijual berbagai macam makanan dan minuman yang bisa dinikmati langsung di situ, tak lupa ditemani udara sejuk yang keluar dari penyejuk ruangan.


Berbagai macam makanan juga dijual di dalam stasiun, sebagian besar dari rumah makan ternama. Ada yang menjual ayam goreng, masakan khas jawa, hingga roti untuk dijadikan camilan di stasiun ataupun sebagai bekal di dalam kereta. Sedangkan di dekat masing-masing pintu menuju tempat parkir mobil tersempil satu kios majalah, buletin, dan harian. Makanan tampaknya masih menjadi komoditas yang begitu diminati di stasiun.

Kesan ini jadi berbeda jika kita melihat ke dalam Museum Nasional, hanya 15 menit berjalan kaki dari Stasiun Gambir. Museum itu terletak di antara gedung-gedung kementerian di negara ini, menghadap persis ke Monumen Nasional. Di dalamnya kaya akan informasi bagi warga Jakarta maupun turis untuk mengenal Indonesia.

Meski di luar terasa panas, suasana di dalam museum begitu sejuk dan membuat orang betah berlama-lama di dalam. Pengaturan pencahayaan yang tepat membuat barang-barang yang dipamerkan di dalam museum menjadi lebih bernilai dan membuat decak kagum.

Di salah satu ruangan dipamerkan berbagai guci, vas, dan piring dari keramik. Benda-benda bersejarah itu tampak mewah disorot lampu museum. Pemandangan ini membawa pengunjung pada abad 12 hingga 13, hampir seribu tahun yang lalu, ketika barang-barang dari keramik ini didatangkan ke wilayah Indonesia oleh bangsa China, Jepang, Vietnam, dan Thailand.

Melalui kerajaan Majapahit (Hindu-Budha) dan Samudra Pasai (Islam) yang berkuasa kala itu, perdagangan internasional sudah dilakukan. Pada awalnya transaksi perdagangan ini dilakukan dengan sistem barter. Indonesia yang kaya akan hasil bumi menukarkan cengkeh, pala, mrica, kayu cendana, hingga cula badak dan kulit penyu dengan barang keramik dan kain sutra.

Sistem perdagangan berkembang, bangsa China mulai menggunakan uang berupa koin untuk digunakan sebagai alat tukar. Tak hanya China, bangsa lain juga menggunakan uang sendiri-sendiri untuk menukarkan barang dari Indonesia. Perubahan ini ditanggapi oleh kerajaan-kerajaan dengan membuat mata uang masing-masing untuk alat tukar.

Secara umum, diketahui bahwa uang pada saat itu disebut dengan Ma’, yang merupakan kependekan dari “Masa” yang berarti ukuran berat. Uang-uang yang dibuat berbahan dasar emas dan perak yang memiliki nilai tinggi.

Kerajaan Majapahit pada masa kejayaan Hindu-Budha membuat uang yang dinamakan Pisis, atau sering disebut Gobok. Bentuk uang ini kentara jelas dipengaruhi oleh uang yang dibawa bangsa China. Uang itu berupa koin yang berlubang di bagian tengah. Di sisi uang itu ada gambar manusia, flora, dan fauna yang menyerupai wayang. Ukurannya sebesar genggaman orang dewasa, cukup besar dibandingkan dengam uang logam saat ini.

Ada beberapa uang dari Majapahit yang dipamerkan pada museum. Semuanya terlihat berkilau diterpa sorotan lampu kuning. Pada koin yang lain ditemukan gambar Semar, salah satu tokoh wayang yang mengajarkan kebijaksanaan Jawa. Di koin yang lain terdapat tulisan kalimat syahadat, yang menunjukkan bahwa agama Islam sudah menancapkan pengaruhnya pada saat Majapahit masih berkuasa.

Kerajaan Samudra Pasai di Aceh membuat mata uang dari emas yang disebut derham. Bentuknya tak jauh beda dengan uang dari Kerajaan Majapahit. Istimewanya dari uang ini adalah berganti-berganti karena dituliskan nama raja yang sedang bertahta pada waktu itu. Berdasarkan catatan yang ada diketahui bahwa uang tertua yang ditemukan berasal pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir yang memerintah tahun 1297-1327.

Kesultanan Banten membuat uang dengan tulisan “Pangeran Ratu ing Banten”. Di Kalimantan ditemukan uang tembaga yang disebut duit, dan di Sulawesi ditemukan uang berbahan dasar emas yang dinamakan dinara atau jingara. Penemuan uang-uang ini menunjukkan bahwa pada masa itu uang sudah mulai menjadi hal yang penting dalam perdagangan.

Meski uang menjadi alat tukar yang kemudian digunakan secara umum, emas pada saat itu masih memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Salah satu benda bernilai tinggi yang dibuat dari emas adalah perhiasan. Dalam berbagai budaya, perhiasan merupakan representasi dari status sosial seseorang. Semakin banyak perhiasan mewah (emas, berlian, batu permata) yang dimiliki seseorang, makin tinggi pula status sosial yang disandang orang tersebut.

Pendapatan Pemerintah
Dalam hal menjaga status sosial yang dimiliki oleh para pembesar, pemerintah kerajaan punya cara sendiri. Ada dua jalan yang ditempuh oleh pemerintahan kala itu, yaitu melalui penarikan pajak dan berdagang. Harta milik rakyat yang dikenai pajak pada saat itu adalah pajak tanah, pajak hasil bumi, pajak perdagangan, dan pajak usaha kerajinan.

Di dalam museum itu ditemukan tulisan bahwa penarikan pajak sebagai upaya memberikan pemasukan bagi pemerintah ini berbeda dengan penarikan upeti. Keduanya memang sama-sama mengurangi pemasukan rakyat. Hal yang membedakan adalah penarikan upeti diberikan kepada raja (individu), sedangkan penarikan pajak diberikan kepada negara (institusi) yang nantinya juga akan dikembalikan kepada rakyat melalui pembangunan dan jaminan keamanan.

Berdagang adalah cara dari pemerintah ataupun penduduk untuk memperoleh pemasukan. Berdasarkan prasasti yang diidentifikasi ditulis pada sekitar abad 9-15 ditemukan informasi bahwa bangsa Indonesia telah melakukan perdagangan dengan bangsa lain. Dalam prasasti-prasasti itu pedagang dibedakan menjadi beberapa sebutan. Abakul digunakan untuk menyebut pedagang eceran, adagang digunakan untuk menyebut pedagang grosir, sedangkan banyaga digunakan untuk menyebut pedagang besar yang hubungan dagangnya terjadi antarpulau atau bahkan internasional.

Selain mengklasifikasikan pedagang, orang Jawa pada masa itu juga membedakan hari pasaran. Pada hari Kliwon berarti aktivitas perdagangan dilakukan di desa yang berada di tengah (desa induk); Legi di desa sebelah timur; Pahing di desa sebelah selatan; Pon di desa sebelah barat; dan Wage di desa sebelah utara. Dengan diaturnya hari-hari pasaran itu maka semua desa yang berada pada satu wilayah mendapatkan giliran untuk berdagang. Berdagang dengan demikian bukan lagi sebuah tindakan ekonomi, namun juga sebuah budaya.

Kerajaan-kerajaan di Indonesia pada perkembangannya memang menghasilkan kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi. Misalnya pembuatan batik di pulau Jawa, pemintalan benang, anyaman di Kalimantan, hingga kerajinan perhiasan logam di Sumatra Barat. Namun pada masa itu komoditas yang paling menarik untuk diperdagangkan adalah hasil bumi berupa rempah-rempah. Maka dapat dipahami bahwa pada saat itu sebagian besar rakyat bercocok tanam untuk menambah jumlah barang dagangan yang bisa dijual, kecuali rakyat Makassar-Bugis yang dikenal sebagai masyarakat perantau.

Di samping kawasan museum berjejer rapi penjual makanan ketoprak, mie ayam, es doger, dan minuman lain. Sedangkan di depan museum terbentang indah pemandangan taman di sekitar Monumen Nasional. Aktivitas perdagangan pada siang hingga sore hari di sana sangat meriah. Tendanya berwarna-warni. Kaos-kaos oblong yang dijualnya juga beraneka ragam. Mereka kini berdagang pakaian dan makanan, 1.000 tahun lalu orang berdagang cengkeh dan cendana. Dulu maupun sekarang, mereka turut menentukan keadaan ekonomi Indonesia.

Jakarta, 5 April 2014. Tulisan ini adalah tugas saat Pelatihan Calon Reporter Bisnis Indonesia.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain