Sudut kanan luar gedung Galeri Foto Jurnalistik Antara dipenuhi sekumpulan
anak muda berkaos hitam bertuliskan “UNFISINISHED”. Raut wajah mereka cerah, mata
mereka memancarkan gairah yang membuncah. Mereka adalah peserta Workshop
Fotografi Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) yang mengadakan pameran di Jl.
Antara 59, Pasar Baru, Jakarta (11/4/2014).
“Pameran ini sebagai bentuk tanggungjawab mereka,” ungkap Oscar I.
Mautoloh, seorang yang dianggap sesepuh di GFJA. Tajuk “UNFINISHED” menurutnya
diambil untuk menandakan “ketidaksempurnaan” dari pameran yang digelar selama
sebulan ini.
Tema ini tercermin dari karya-karya fotografi yang dipajang dengan rapi di
dalam galeri. Dengan pigura kayu berwarna hitam, para peserta memajang refleksi
hidup yang lebih dari sekadar bekuan gerak.
Arya Manggala Nuswantoro membidik seorang ibu penjaga palang perlintasan
kereta api yang tak resmi. Namanya Sri. Mengenakan mantel plastik biru, Sri
setia menjalankan tugasnya di tengah hujan. Dengan pemasukan dari kerelaan
pelintas, dia menjamin pelintasan yang dia jaga adalah pelintasan yang paling
aman. “Malaikat Penjaga Nyawa” adalah judul yang tepat diberikan pada kumpulan
kisah penyelamatan Sri pada para pelintas di pelintasan kereta yang tidak
resmi.
Perempuan adalah subjek foto yang bicara banyak. Mereka bicara tentang arti
kecantikan, perjuangan, juga tentang penyiksaan yang dialami ketika bekerja
sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga) di negeri orang. Dengan judul “Boneka
Devisa”, Frannoto memotret empat perempuan yang mendapat siksaan dari majikan
ketika bekerja. Bekas pukulan, sundutan rokok, setrikaan pada telapak tangan,
hingga pergelangan tangan yang patah menjadi catatan kelam bagi hidup mereka.
Tidak hanya tentang hidup manusia, anjing liar pun menjadi subjek yang
bercerita. Melalui judul “Asu Metropolitan” Antonius Subandrio menunjukkan
kisah anjing-anjing liar yang bertahan di antara kesibukan dan ketidakpedulian
kota metropolitan Jakarta. Anjing-anjing liar ini cari makan di tumpukan
sampah, mereka lalu disingkirkan karena dianggap kotor dan najis. Tidak jarang mereka
berakhir mati terlindas keangkuhan kendaraan di jalan-jalan kota.
Kisah getir dan terbuang juga diangkat Pius Erlangga. Dia memotret Serma
Didik Suprapto, seorang tentara yang kehilangan kaki kirinya saat Operasi
Militer Timor Timur tahun 1997. Karirnya di militer berakhir, namun tidak
dengan hidupnya. Selama tiga bulan setelah pulih dia diberi pilihan untuk
dibekali ketrampilan pertanian, fotografi,
hingga desain grafis. Dengan satu kaki dia tetap menjadi pejuang, hingga
akhirnya meninggal sebelum Pius menyelesaikan potret dirinya.
Ketika foto dirinya dipamerkan hidup sang “Laskar Terbuang” benar-benar
berakhir, namun kisahnya menjadi abadi. Seakan foto-foto para peserta workshop ini
mengajarkan kita bahwa memulai tidak harus selalu dari awal, dan bahkan, akhir
pun tak harus selalu ada. Pameran foto ini layak menjadi pengingat kita akan
semua itu.
Jakarta, 12 April 2014.
Kamar Kos Haji Hasan Basri
Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
No comments:
Post a Comment