Skip to main content

Si Tua Kerasukan Asu


“Wanita selalu jadi korban kekerasan kaum pria!”
Si tua itu memekik lantang.
Di mana?

Di sosial media, tentunya.
Tempat orang membuang ludah,
serta kaum alay berkeluh kesah.

***

Si tua berlagak aktivis,
bermental eksibisionis.

Seakan berjuang bagi kaum tertindas,
ternyata mengejar di balik kutang yang lepas.

Seakan peduli pada kaum hawa,
ternyata mengemis perhatian semata.

Si tua bilang,
“Hentikan kekerasan kepada perempuan!”

Juga berteriak berang,
“Putuskan pacar kalian sekarang!
Masih ada waktu sebelum menikah!”

Diam-diam jakun si tua naik turun,
menekan rasa yang meledak-ledak.

Sekejap tangannya berlumuran mani,
mereka menjadi objek fantasi.

Lalu si tua menawarkan diri,
untuk menjadi pendamping sejati.

***

Dunia ini memang lucu,
terkadang asu,
tapi lebih sering wagu.

Bagaimana bisa,
dirimu,
yang seorang aktivis ini,
senang menantang lelaki muda
di akun jejaring yang maya?

Bagaimana bisa,
dirimu,
yang pembela perempuan ini,
rajin mencela lelaki muda dengan kata:
“Nganggo rok sisan bengesan wae..”
saat mereka mengabaikan ocehanmu?

Bukankah itu wagu?

Kau membela perempuan yang jadi korban,
seakan kau junjung mereka bagai sang putri.
Namun kau bilang mereka,
yang kau sebut pecundang itu,
sebagai perempuan.

Lalu, apa yang kau lakukan selama ini?
Meneriaki diri sendiri,
lewat akun jejaringmu sendiri?


Hah.. asu.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.