Sumber: thegraphicsfairy.com |
Suatu sore selepas
kuliah saya makan nasi telur di warung burjoan. Biasalah, tipikal mahasiswa
kere sederhana asli Jogja yang enggan beli makan seharga dua digit. Nah, di
burjoan itu ada anak kecil, paling usia 3-4 tahun, seusia keponakan saya. Anak
itu menarik karena bukan hanya lucu, tetapi karena dia senang menyanyi. Apa
lagu yang dia nyanyikan?
Mana mungkin selimut
tetangga.. hangati tubuhku dalam kedinginan. Malam malam panjang setiap
tidurku, selalu kesepian.." senandungnya.
Kalau saja dia
seumuran, paling sudah saya “ciee..curhat..”kan. Namun, ini masih anak kecil
balita, mana mungkin saya begitukan?
Barangkali anda miris
dengan kondisi ini. Anda yang termasuk #Generasi’90an mungkin akan cerita kalau
dulu masih banyak lagu anak yang sesuai untuk umur kita. Misalnya lagu-lagu “Si
Lumba-Lumba”nya Bondan Prakoso, “Kebelet Pipis”nya Joshua, hingga “Katanya
Katanya”nya Trio Kwek Kwek.
Namun, bukan, bukan
kemirisan itu yang ingin saya tulis. Kali ini saya hanya ingin menuliskan cerita
lagu-lagu dan pemusik yang mewarnai hidup saya hingga umur 24 ini. Tidak banyak sih, karena saya bukan pecinta musik
yang hapal dengan baik genre, gerakan musik, sampai lirik-lirik terbaru. Begini
ceritanya.
.: Balita
Dengar dari ibu saya,
dan sedikit ingatan yang masih nyantol, dulu saya pernah bergaya pakai gitar
mainan dan menyanyi,”Akulah pangeran dangdut..” Entah dulu siapa yang meracuni
saya dengan lagu itu. Barangkali itu lagu terkeren yang pernah saya dengar
waktu balita. Namun kini saya hanya tahu satu kalimat itu saja.. serius.
.: Taman Kanak-Kanak
Masa TK adalah masa
ketika saya diperkenalkan lagu “Ambilkan Bulan, Bu” yang menyayat hati itu.
Lalu karena saya dibesarkan di keluarga Katolik dan rajin datang Sekolah
Minggu, saya diperkenalkan dengan lagu “Yesus Pokok” yang fenomenal (halah!).
Seringkali tanpa sadar tangan saya memainkan kunci G dan menyanyikan lagu itu.
Hingga kini.
Saya juga dengar
lagu-lagu dangdut, mungkin karena ART keluarga saya waktu itu suka dangdut. Tak
lupa lagu sangar ala melayu rock, “Suci dalam Debu”nya Iklim. Suaranya tinggi,
cengkoknya asik.
.: Sekolah Dasar
Nah, masa ini adalah
masa yang panjang sekali bagi saya untuk kenal lagu. Saya kenal lagu “Words”nya
Boyzone yang sering diplesetkan dengan “isong liwet, oseng-oseng cawet, rasane
kok anget..” pada bagian refren. Barangkali tidak terasa lucu saat ini, tapi
dulu? Wah, sampai mules saya.
Kenal juga lagunya “I
Have a Dream”nya Westlife. Saya ingat dulu poster Westlife dijual oleh
bapak-bapak di sekitar sekolahan, dia menawarkan sambil bilang,”Weslip weslip..”
Lalu karena mbak
Karin, kakak saya yang punya suara jos, ngefans dengan The Moffats, saya jadi
turut mendengarkan lagu-lagu mereka. “I’ll be There for you”, “I Miss You Like
Crazy”, “If Life is So Short”, rasanya sangat tidak asing bagi telinga saya.
Kalau lagu Indonesia,
dulu saya sering dengar Sheila on 7 (SO7). Ada kasetnya dari album pertama
sampai yang “Sebuah Kisah Klasik untuk Masa Depan.” Album pertama itu saya
dengarkan lagu sambil baca liriknya. Jadi memang, sekitar kelas dua atau tiga
SD saya sudah dengar lagu “JAP” (Jadikan Aku Pacarmu) yang hingga kini belum
pernah saya pakai buat ‘nembak’ gadis. Biasanya mereka yang ‘nembak’ saya sih.
Halah.
Saya juga dengar lagu
“Perhatikan Rani”nya SO7. Di dalam otak saya lirik yang muncul adalah “Beranjak
dewasa, kakakku Karin tercinta..” Jadi waktu itu sudah mulai bisa mengganti
kata-kata dalam lagu. Katanya punya bakat, tapi sampai sekarang belum tercipta
satupun lagu.
Kelas tiga SD saya
mulai dengar beberapa lagu Dewa. Tapi entah kenapa, saya tidak terlalu senang
dengan lagu Dewa kala itu. Belakangan baru saya agak bisa menerima kalau
lagu-lagunya memang bagus.
Kelas empat SD, saya
mulai belajar main gitar. Sebenarnya yang butuh gitar adalah mbak Karin, dia
mulai ngeband dengan teman-temannya ketika kelas satu SMP. Lagu pertama yang
saya mainkan adalah “Malam Kudus” dengan genjrengan yang seadanya. Lalu saya
juga mulai belajar dua lagu yang dimainkan bandnya mbak Karin: “Best I Ever
Had”nya Vertical Horizon dan “Mahadewi”nya Padi. Sampai sekarang kedua lagu itu
masih keren.
Lagu-lagu berikutnya
adalah lagu lawas karena diajari bapak. Lirik dan nadanya sendu: “Bagaikan air
di daun keladi..” dan “Tuhan”nya Bimbo.
Setelah itu baru
mulai belajar lagu-lagu SO7 di album “Sebuah Kisah Klasik untuk Masa Depan”
sambil diam-diam memilih lagu apa yang tepat untuk mbribik calon pacar besok.
Sampai sekarang belum ketemu lagunya.
.: Sekolah Menengah
Pertama
Saya mulai ngeband di
masa-masa ini. Beruntung saya bisa main gitar, gejolak remaja dengan keinginan
pamer yang besar bisa disalurkan lewat ini, bukan dengan motor-motoran sambil
ngebut.
Lagunya lebih banyak
lagi. Mulai dari Peterpan, Coklat, Radja, Ungu, Simple Plan, Blink 182, Green
Day, dan masih banyak yang lain.
.: Sekolah Menengah
Atas
Di masa ini saya
banyak dicekoki lagu barat oleh teman-teman saya. Karena hidup di asrama, kami
sering mendengarkan lagu bersama. Mulai dari yang metal seperti Avenged Sevenfold,
sampai aliran-aliran emo yang baru ngetren saat itu.
Namun karena saya
memang gampang tersentuh (hiks), saya juga main lagu-lagu syahdu macam “Karna
Kusayang Kamu”nya Dygta, lagu-lagunya Flanella, “Di Antara Kalian”nya D’Masiv,
hingga belajar petikan gitar lagu “Karna Kutahu Engkau Begitu”nya Andre
Hehanusa.
Beberapa lagu keren
yang pernah saya bawakan bersama teman-teman band kala itu adalah
“Superfunk”nya Funky Kopral, “Putri”nya Djamrud, “Cinta Putih”nya Kerispatih,
dan “Jillian”nya Within Temptation. Untuk lagu yang terakhir ini saya
mengiringi koor angkatan. Sumpah, rasanya kegantengan meningkat berkali-kali
lipat.
.: Kuliah
Masa kuliah
sepertinya play list musik saya kok tidak terupdate dengan baik. Saya hanya
kenal sedikit sekali lagu baru. Kalau ngeband di studio yang dibawakan juga
lagu-lagu lama jaman SMA atau bahkan SMP.
Paling-paling lagu
yang saya tahu ketika masa kuliah adalah “Someone Like You”nya Adele, “Lebih
Indah”nya Adera, dan beberapa lagu yang ngetren saja.
.: Sekarang
Apalagi sekarang.
Rasanya sudah berhenti. Saya malah sedang mengulik lagu-lagunya Endank Soekamti
yang bisa bikin jingklak-jingklak. Saya baru sadar itu band keren banget.
Mungkin akan saya tulis di bagian lain. Barangkali terlambat untuk suka Endank
Soekamti di umur segini? Coba perhatikan para Kamtis itu, rata-rata masih
remaja.
Satu alasan kenapa
saya lagi senang dengan band itu adalah karena sering bercerita tentang
persahabatan dengan teman. Saat ini sahabat-sahabat saya sudah mengalami
perubahan dunia. Mereka sudah lulus kuliah dan akan segera bekerja. Dan, ya,
mereka sudah tidak lagi di Jogja.
Ketika sedang
sendiri, barangkali saya akan sering menyanyi,”Apa kabarmu, teman-temanku?”
dari lagu “Long Live My Family” dan disambung dengan lirik “..semua terasa
bangsat tak berguna saat kau tak ada..” dari lagu “Tanpa Kamu.” Keduanya adalah
lagu dari Endang Soekamti, yang banyak digemari remaja itu. Barangkali saya
memang masih remaja, atau musik memang tak kenal usia.