09 May 2015

Musik Tak Kenal Usia

Sumber: thegraphicsfairy.com

Suatu sore selepas kuliah saya makan nasi telur di warung burjoan. Biasalah, tipikal mahasiswa kere sederhana asli Jogja yang enggan beli makan seharga dua digit. Nah, di burjoan itu ada anak kecil, paling usia 3-4 tahun, seusia keponakan saya. Anak itu menarik karena bukan hanya lucu, tetapi karena dia senang menyanyi. Apa lagu yang dia nyanyikan?
 
Mana mungkin selimut tetangga.. hangati tubuhku dalam kedinginan. Malam malam panjang setiap tidurku, selalu kesepian.." senandungnya.

Kalau saja dia seumuran, paling sudah saya “ciee..curhat..”kan. Namun, ini masih anak kecil balita, mana mungkin saya begitukan?

Barangkali anda miris dengan kondisi ini. Anda yang termasuk #Generasi’90an mungkin akan cerita kalau dulu masih banyak lagu anak yang sesuai untuk umur kita. Misalnya lagu-lagu “Si Lumba-Lumba”nya Bondan Prakoso, “Kebelet Pipis”nya Joshua, hingga “Katanya Katanya”nya Trio Kwek Kwek.

Namun, bukan, bukan kemirisan itu yang ingin saya tulis. Kali ini saya hanya ingin menuliskan cerita lagu-lagu dan pemusik yang mewarnai hidup saya hingga umur 24 ini. Tidak  banyak sih, karena saya bukan pecinta musik yang hapal dengan baik genre, gerakan musik, sampai lirik-lirik terbaru. Begini ceritanya.

.: Balita

Dengar dari ibu saya, dan sedikit ingatan yang masih nyantol, dulu saya pernah bergaya pakai gitar mainan dan menyanyi,”Akulah pangeran dangdut..” Entah dulu siapa yang meracuni saya dengan lagu itu. Barangkali itu lagu terkeren yang pernah saya dengar waktu balita. Namun kini saya hanya tahu satu kalimat itu saja.. serius.

.: Taman Kanak-Kanak

Masa TK adalah masa ketika saya diperkenalkan lagu “Ambilkan Bulan, Bu” yang menyayat hati itu. Lalu karena saya dibesarkan di keluarga Katolik dan rajin datang Sekolah Minggu, saya diperkenalkan dengan lagu “Yesus Pokok” yang fenomenal (halah!). Seringkali tanpa sadar tangan saya memainkan kunci G dan menyanyikan lagu itu. Hingga kini.

Saya juga dengar lagu-lagu dangdut, mungkin karena ART keluarga saya waktu itu suka dangdut. Tak lupa lagu sangar ala melayu rock, “Suci dalam Debu”nya Iklim. Suaranya tinggi, cengkoknya asik.

.: Sekolah Dasar

Nah, masa ini adalah masa yang panjang sekali bagi saya untuk kenal lagu. Saya kenal lagu “Words”nya Boyzone yang sering diplesetkan dengan “isong liwet, oseng-oseng cawet, rasane kok anget..” pada bagian refren. Barangkali tidak terasa lucu saat ini, tapi dulu? Wah, sampai mules saya.

Kenal juga lagunya “I Have a Dream”nya Westlife. Saya ingat dulu poster Westlife dijual oleh bapak-bapak di sekitar sekolahan, dia menawarkan sambil  bilang,”Weslip weslip..”

Lalu karena mbak Karin, kakak saya yang punya suara jos, ngefans dengan The Moffats, saya jadi turut mendengarkan lagu-lagu mereka. “I’ll be There for you”, “I Miss You Like Crazy”, “If Life is So Short”, rasanya sangat tidak asing bagi telinga saya.

Kalau lagu Indonesia, dulu saya sering dengar Sheila on 7 (SO7). Ada kasetnya dari album pertama sampai yang “Sebuah Kisah Klasik untuk Masa Depan.” Album pertama itu saya dengarkan lagu sambil baca liriknya. Jadi memang, sekitar kelas dua atau tiga SD saya sudah dengar lagu “JAP” (Jadikan Aku Pacarmu) yang hingga kini belum pernah saya pakai buat ‘nembak’ gadis. Biasanya mereka yang ‘nembak’ saya sih. Halah.

Saya juga dengar lagu “Perhatikan Rani”nya SO7. Di dalam otak saya lirik yang muncul adalah “Beranjak dewasa, kakakku Karin tercinta..” Jadi waktu itu sudah mulai bisa mengganti kata-kata dalam lagu. Katanya punya bakat, tapi sampai sekarang belum tercipta satupun lagu.

Kelas tiga SD saya mulai dengar beberapa lagu Dewa. Tapi entah kenapa, saya tidak terlalu senang dengan lagu Dewa kala itu. Belakangan baru saya agak bisa menerima kalau lagu-lagunya memang bagus.

Kelas empat SD, saya mulai belajar main gitar. Sebenarnya yang butuh gitar adalah mbak Karin, dia mulai ngeband dengan teman-temannya ketika kelas satu SMP. Lagu pertama yang saya mainkan adalah “Malam Kudus” dengan genjrengan yang seadanya. Lalu saya juga mulai belajar dua lagu yang dimainkan bandnya mbak Karin: “Best I Ever Had”nya Vertical Horizon dan “Mahadewi”nya Padi. Sampai sekarang kedua lagu itu masih keren.

Lagu-lagu berikutnya adalah lagu lawas karena diajari bapak. Lirik dan nadanya sendu: “Bagaikan air di daun keladi..” dan “Tuhan”nya Bimbo.

Setelah itu baru mulai belajar lagu-lagu SO7 di album “Sebuah Kisah Klasik untuk Masa Depan” sambil diam-diam memilih lagu apa yang tepat untuk mbribik calon pacar besok. Sampai sekarang belum ketemu lagunya.

.: Sekolah Menengah Pertama

Saya mulai ngeband di masa-masa ini. Beruntung saya bisa main gitar, gejolak remaja dengan keinginan pamer yang besar bisa disalurkan lewat ini, bukan dengan motor-motoran sambil ngebut.

Lagunya lebih banyak lagi. Mulai dari Peterpan, Coklat, Radja, Ungu, Simple Plan, Blink 182, Green Day, dan masih banyak yang lain.

.: Sekolah Menengah Atas

Di masa ini saya banyak dicekoki lagu barat oleh teman-teman saya. Karena hidup di asrama, kami sering mendengarkan lagu bersama. Mulai dari yang metal seperti Avenged Sevenfold, sampai aliran-aliran emo yang baru ngetren saat itu.

Namun karena saya memang gampang tersentuh (hiks), saya juga main lagu-lagu syahdu macam “Karna Kusayang Kamu”nya Dygta, lagu-lagunya Flanella, “Di Antara Kalian”nya D’Masiv, hingga belajar petikan gitar lagu “Karna Kutahu Engkau Begitu”nya Andre Hehanusa.

Beberapa lagu keren yang pernah saya bawakan bersama teman-teman band kala itu adalah “Superfunk”nya Funky Kopral, “Putri”nya Djamrud, “Cinta Putih”nya Kerispatih, dan “Jillian”nya Within Temptation. Untuk lagu yang terakhir ini saya mengiringi koor angkatan. Sumpah, rasanya kegantengan meningkat berkali-kali lipat.

.: Kuliah

Masa kuliah sepertinya play list musik saya kok tidak terupdate dengan baik. Saya hanya kenal sedikit sekali lagu baru. Kalau ngeband di studio yang dibawakan juga lagu-lagu lama jaman SMA atau bahkan SMP.

Paling-paling lagu yang saya tahu ketika masa kuliah adalah “Someone Like You”nya Adele, “Lebih Indah”nya Adera, dan beberapa lagu yang ngetren saja.

.: Sekarang

Apalagi sekarang. Rasanya sudah berhenti. Saya malah sedang mengulik lagu-lagunya Endank Soekamti yang bisa bikin jingklak-jingklak. Saya baru sadar itu band keren banget. Mungkin akan saya tulis di bagian lain. Barangkali terlambat untuk suka Endank Soekamti di umur segini? Coba perhatikan para Kamtis itu, rata-rata masih remaja.

Satu alasan kenapa saya lagi senang dengan band itu adalah karena sering bercerita tentang persahabatan dengan teman. Saat ini sahabat-sahabat saya sudah mengalami perubahan dunia. Mereka sudah lulus kuliah dan akan segera bekerja. Dan, ya, mereka sudah tidak lagi di Jogja.

Ketika sedang sendiri, barangkali saya akan sering menyanyi,”Apa kabarmu, teman-temanku?” dari lagu “Long Live My Family” dan disambung dengan lirik “..semua terasa bangsat tak berguna saat kau tak ada..” dari lagu “Tanpa Kamu.” Keduanya adalah lagu dari Endang Soekamti, yang banyak digemari remaja itu. Barangkali saya memang masih remaja, atau musik memang tak kenal usia.

Baca Tulisan Lain