:
dibaca pelan-pelan saja
Rasanya seperti
dicemplungkan dalam beberapa adegan film “50 First Date” versi Jawa. Masa-masa
awal jalan bersama gadis ini diisi dengan menunaikan tiga ibadah wajib. Satu, saling cerita soal apa-apa yang
turut mengantar diri hingga sampai di masa ini. Dua, bicara soal impian dan rencana di masa depan. Tiga, mengingat-ingat apa yang telah
kami lakukan selama sepuluh tahun terakhir.
Belakangan, yang terakhir
ini rupanya butuh banyak energi. Adegan yang ingin kami munculkan tersendat-sendat
bak nonton Youtube di persawahan Godean. Celakanya, sebagian detil adegan hanya
tersimpan di benak diri ini saja, tidak di benaknya. Alhasil, seringkali ada
cerita yang perlu direka ulang dalam kata guna memancing ingatan. Kadang
berhasil, tetapi lebih sering tidak. Itu bedanya dengan film yang tadi.
Melalui deretan kata ini,
ijinkan sahaya berbagi sedikit. Semoga tuan puan sudi membaca.
Adalah gadis itu, yang
pertama kali saya ajak keluar malam-malam. Berdua saja. Satu dekade lalu.
Sepeda motor Astrea yang bertenaga. Hawa dingin dan romantisme lampu kota
Yogyakarta. Alun-alun Kidul, Mirota Kampus, hingga bintang-bintang yang
mengintip dari halaman Candi Ganjuran.
Dalam perjalanan ke
Alun-alun Kidul kami melewati rumah-rumah lawas. Daerahnya sepi. Gelap. Berseberangan
dengan benteng putih tinggi tinggalan penjajahan Belanda. “Rumahnya bagus ya,”
katanya di jok belakang.
Lalu sepasang remaja itu
bercerita tentang rumah impian. Cerita yang tiba-tiba berhenti begitu saja
ketika sampai tujuan. Kami lantas duduk di tikar, di atas rerumputan basah, sambil menyeruput ronde. Di depan sana wisatawan sedang menutup mata sambil berjalan di antara
dua beringin. Mitosnya, segala harapan akan terkabul ketika berhasil
melakukannya.
Saat itu, sekadar berharap
saja sudah gemetar lutut.
Singkat cerita, sahaya
jadi salah satu tempat teraman untuk narasi sedih dan keluh kesahnya. Sering
telinga ini jadi yang pertama; barangkali juga satu-satunya. Sore hari di depan
ruang band. Jumper abu-abu yang basah untuk menyeka air mata. Siang hari di
depan kapel, dekat menara air. “Kamu orang pertama di van Lith yang tahu cerita
ini,” katanya setengah berbisik.
Selama bertahun-tahun
kemudian, cerita-cerita hidupnya dititipkan pada sepasang telinga lain. Selama
itu pula ada cerita hidup milik hati lain yang dititipkan pada telinga ini.
Delapan tahun setelah
pertama kali kenal, semesta mempertemukan kami di Ibu Kota. Selepas mencatat
kata-kata Bapak Menteri di dekat Monas, sahaya diminta meluncur ke Cilandak. Kami
lalu mencari kamar sewa untuknya yang dalam hitungan hari sudah masuk kerja.
Berdua saja. Sepeda motor Supra yang masih ‘greng’ meski usang. Asap knalpot
pekat. Langit Jakarta yang gelap dan buram.
Tak lama, perpisahan
singkat terjadi. Lapo Codian Mayasari dan pemuda bersuara merdu dengan
gitarnya. Tuak yang manis dan kecut, tetapi sahaya suka. Rumah Uda di Lubang
Buaya yang sepi. Berdua saja. Berpamitan diam-diam pada empunya rumah.
Kali itu tidak bicara
rumah impian. Namun, gentar belum beranjak pergi.
Dua tahun berlalu. Kami
berangkat rombongan ke Sendangsono di bulan lima. Di mobil, rambut kepalanya tak bisa
terlepas dari tangan kotor ini. Ada listrik yang menyengat dan bikin gelisah
tiap kali dua benda itu terhubung. Entah bagaimana harus menyebutnya.
Esoknya, dinding kokoh
gereja Kotabaru meruntuhkan pertahanan. Batas-batas persahabatan terkoyak oleh
angin entah. Tanpa kata, apalagi meminta, ini mata tak bisa lepas dari semua
yang melekat padanya.
Dalam perjalanannya ke Ibu
Kota, sahaya menemukan nada suara yang berbeda di ujung telepon. Suara sedikit manja
yang bersaing deru mesin kereta. Sejak saat itu, malam tak pernah terlewati
tanpa panggilan suara. XL Axiata adalah kongsi paling beruntung. Mereka punya
dua pelanggan lama yang kini rajin isi pulsa mereka banyak-banyak.
Obrolan tentang rumah
impian kembali terjadi. Seakan menyambung kalimat sepuluh tahun lalu yang
enggan diberi titik. Kali ini ragu-ragu pergi jauh-jauh. Karena tak ada yang
lebih aman selain menangis dan tertawa rumah sendiri.
Semoga rumah ini tetap
terawat dan jadi tempat yang ideal untuk menumbuhkan sabda-sabda yang telah
ditabur-Nya. Amin? Amin. (*)
Selamat ulang tahun, gadis
dua enam. Semoga kian tangguh merawat dunia, selalu jadi bahagia di mata-mata
yang suram, dan tetap bersyukur atas segala talenta yang dititipkan. Saranku, segeralah punya hobi baru. Merepotiku, mungkin?