20 January 2019
16 January 2019
Seminggu di Paropo
Akhir tahun 2018 kemarin saya ‘pulang kampung’ ke
tanah Batak; tanah kelahiran bapak mertua. Makan daging anjing dengan sayur
kol? Tidak. Saya pilih minum tuak dengan buah duren. Ditemani asap tembakau
dari berbagai rokok merek pabrikan yang dihisap bapak-bapak di kedai. Semua itu saya santap sambil menikmati nada
bicara dari penduduk Desa Paropo, dekat Danau Toba. Bagi saya yang tak paham
bahasa Batak, suara yang muncul dari mulut mereka tak ubahnya lagu.
Saya sering dengar orang Batak bilang kalau suara
macam Judika itu sebenarnya banyak dimiliki oleh orang-orang Batak. Terutama
mereka yang sering nongkrong di kedai-kedai di desa. Biasanya para laki-laki
nongkrong di kedai sambil minum tuak, lalu pegang gitar untuk nyanyi bersama.
Lihat saja di Youtube; persis seperti
itu. Ajaibnya, suara mereka seperti otomatis terbagi jadi tiga – padahal tanpa
latihan.
Sependek yang saya lihat dalam beberapa hari,
jumlah kedai di Desa Paropo ini terhitung banyak. Dapat dikatakan, setiap selisih
5-10 rumah pasti ada kedai. Selain rokok dan kopi (tentu saja!), yang dijual di kedai itu ada teh, mie instan, dan
tuak. Saya tak tahu apakah setiap kedai menjual tuak atau tidak.
“Di Jawa ada tuak juga?”
“Ada, tulang.”
“Tapi pasti beda rasanya. Enggak seasli yang di
sini.”
Mereka tampaknya bangga betul dengan rasa tuak
yang ada di Paropo. Saya perlu jujur. Saya tak tahu perbedaan rasa tuak khas
Batak yang di Jogja dan Jakarta, dengan rasa tuak di Paropo. Bagi saya rasanya
sama saja (ya seperti itu rasa tuak! mau
gimana lagi rasanya? hehehe). Sekalipun saya tahu beda rasanya, sudah pasti
saya tak tahu mana yang lebih ‘asli’ atau - katakanlah - lebih berkualitas.
Soal tuak ini, ternyata saya salah kira. Saya kira
tuak ini diminum di pesta-pesta layaknya anggur (wine) ataupun bir. Saya bayangkan tuak ini dibagikan kepada tamu secara
gratis lalu dinikmati sambil menari mengikuti lagu yang dinyanyikan kelompok
musik. Kemarin saya datang ke pesta pernikahan saudara sepupu istri, dan tidak
menemukan yang saya bayangkan tersebut. Atau saya saja yang memang tak melihat?
Entahlah.
Pesta pernikahan di budaya Batak itu jelas berbeda
dengan Jawa. Tentu tak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Setiap budaya
menganut nilai yang berbeda. Soal baik atau buruk diukur dari nilai (yang entah diciptakan oleh siapa)
tersebut. Beberapa kali saya mengikuti upacara adat pernikahan Jawa, dan baru
satu kali ikut upacara adat pernikahan Batak, rasanya sama-sama melelahkan. Hanya
saja, kalau dibandingkan, pernikahan sepupu ini lebih melelahkan daripada
pernikahan saya.
(Catatan: tentu saja sebenarnya
saya tak dapat membandingkan, karena memang tidaklah sebanding. pernikahan saya
bukan pernikahan Jawa yang sesuai pakem melainkan yang ‘modern’ dan penuh
modifikasi sana-sini. sementara rasanya pernikahan sepupu ini masih sesuai
dengan pakem-pakem yang berlaku di tanah Batak)
Pesta pernikahan saya beberapa bulan lalu hanya 2
jam saja di gedung. Sementara yang di Paropo ini, jam 9 mulai di gereja lalu
acara baru selesai sekitar pukul 20. Berarti setidaknya mempelai wanita harus
pakai kebaya dari pagi sampai malam. Dengar-dengar, setelah pesta masih ada
acara di rumah mempelai laki-laki sampai sekitar pukul setengah 12 malam.
Mungkin sebenarnya pernikahan dalam budaya Jawa
juga sama melelahkannya. Hanya saja waktu itu saya memilih untuk melewatkan
banyak upacara adat Jawa dan lebih fokus pada acara gereja saja. Pertanyaannya,
bisakah orang Batak memilih untuk tidak menggunakan adat Batak?
“Itu, bang, masalahnya. Adat-adat ini pantang ditinggal,” kata seorang sepupu. Apalagi, tambahnya, kalau yang menikah
adalah sama-sama orang Batak. Maka tak heran (tapi saya tak yakin mereka ini serius hehehe) ada beberapa sepupu
yang minta dicarikan perempuan “boru Jawa” yang mau menikah sama mereka.
“Mana mau mereka sama kamu!” kata istri saya
menimpali permintaan abal-abal ini.
Banyak orang berpendapat orang Batak itu galak dan
keras ketika berbicara. Beberapa kali mereka sendiri bilang begitu ke saya. Barangkali
kalau saya baru pertama kali bertemu orang Batak, saya pasti terkaget-kaget di
Paropo. Nada bicara orang Batak itu memang seperti membentak, padahal ibu di
tempat saya menginap (saya tak tahu harus panggil beliau namboru atau inang uda)
itu penuh kehangatan.
Kalau kami lagi tidur-tidur dia sering bilang “Tidur
kalian! Tidur!” dengan nada yang asik. Atau kalau beliau lagi melihat kami
duduk-duduk, langsung teriak “Udah makan kalian? Makan kalian!”
Soal makanan, hampir setiap hari saya makan babi. Saya
hanya bertanya-tanya dalam hati, “Ini karena sedang ada pesta dan banyak
keluarga sedang pulang, atau sehari-harinya memang sering makan daging babi?” Saya
bayangkan setiap hari makan ikan, karena letak Desa Paropo ini memang di tepi
Danau Toba. Rupanya saya hanya makan ikan beberapa kali saja.
Satu makanan yang baru pertama saya makan ketika
di sana: mie gomak. Bentuk mie ini seperti spaghetti. Mereka berkelakar, “Ini
spaghetti ala Batak.” Rasanya? Luar biasa nikmat. Setiap kali tuan rumah
menyajikan masakan ini, saya pasti langsung makan tiga piring mie gomak. Karena
saking penasarannya, saya ikut ke dapur untuk bantu-bantu supaya tahu bagaimana
masakan ini dibuat. Siapa tahu kami bisa masak menu ini di Semarang.
Kenapa disebut ‘gomak’? Menantu dari tuan rumah,
dia pandai memasak dan sangat cekatan, mengatakan sambil memperagakan mengambil
mie menggunakan tangan yang dilapisi plastik,”Karena ngambilnya gini. Ini gomak.
Kalau ngambilnya pakai garpu atau sendok nanti tumpah.” Waktu itu saya manggut-manggut
sambil menirukan. Mengisi piring ketiga saya hahahaha
Soal masakan, saya sama sekali tak ada masalah dan
sangat menikmati. Soal minuman? Rupanya saya tidak hobi-hobi amat minum minuman
beralkohol: bir, tuak, (kalau di Semarang) congyang, dan kawan-kawannya. Minum hanya
untuk pergaulan saja, sambil nongkrong.
Ada satu minuman yang hanya saya cicipi seteguk saja
di sana, tepat di pinggir Danau Toba setelah senja, yaitu TST. Teh Susu Telur.
Seingat saya minuman ini cenderung kental, mungkin karena kuning telurnya ini. Rasanya
khas sekali. Waktu itu saya tak bisa mengidentifikasi, apakah minuman ini
memang senikmat itu? Atau karena suasana tepi Danau Toba setelah senja yang
dingin dan gelap itu yang bikin nikmat.
Yang jelas, sore ini tiba-tiba saya ingin TST. Karena
saya tak tahu di mana cari TST di Semarang, saya jadinya menulis cerita ini
saja. Glek.
16.01.2019
Semarang
Subscribe to:
Posts (Atom)
Baca Tulisan Lain
-
Barangkali memang setiap negara tidak bisa tidak melakukan hubungan-hubungan dengan negara lain. Setiap hubungan yang dijalin bisa saja memi...
-
Cerita ini diawali ketika beberapa kawan melakukan penelitian di Desa Wisata Sidoakur yang terletak di Jalan Godean. Akhirnya saya ngikut...
-
Sembah bekti kawula Dewi Mariyah kekasihing Allah, pangeran nunggil ing Panjenengan Dalem. Sami-sami wanita Sang Dhewi pinuji piyambak, saha...
-
Yellow journalism Yellow journalism bukanlah merupakan sebuah aliran jurnalisme, melainkan sebuah julukan yang diberikan oleh The New York...
-
Terima kasih, adinda :)