Skip to main content

Pakualaman

Belum lama ini kondisi politik di Daerah Istimewa Yogyakarta digoyang oleh isu mengenai diadakannya pemilihan Gubernur DIY. Keistimewaan daerah ini dipertanyakan, sekaligus dipertahankan, oleh para pengikutnya. Mereka disebut orang-orang pro penetapan.

Apa yang ditetapkan? Posisi Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur dan Paku Alam IX sebagai Wakil Gubernur. Beliau berdua ini memiliki singgasana (sebagai “Ratu”) di dua tempat yang berbeda. Kraton Kasultanan Ngayogyakarta sudah begitu terkenalnya, namun bagaimana dengan Kraton Pakualaman?

Terus terang, saya sebagai orang asli Jogja ini tersentak ketika tersadar bahwa saya tidak mengerti apa-apa mengenai Kraton yang satu ini. Saya mencari-cari informasi tentang tempat ini di buku-buku dalam lemari buku. Nihil. Hanya ada Ensiklopedi Kraton Yogyakarta dan Ensiklopedi Kotagede.

Suatu saat Bapak mengajak saya untuk merekam kegiatan penulisan buku di Pakualaman. Menurut tim penulis, buku ini diharapkan menjadi buku induk yang berisi informasi mengenai Kraton Pakualaman. Mulai dari upacara-upacara adat, arsitektur, wayang, dan sebagainya. Ini adalah jawaban atas pertanyaan.

Semoga cepat rampung, lalu bisa dibaca.
Ini saya sertakan satu foto seorang keluarga Pakualaman. Sudah berumur, dan masih mampu bercerita banyak mengenai pengalaman dan pengetahuannya mengenai Kraton Pakualaman. Bisa jadi dia pelaku sejarah, atau saksi sejarah.


Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.