26 March 2011

Berawal dari Lereng Merapi

Selama dua hari kemarin saya berkesempatan untuk mengikuti refleksi RKKS (Rekoleksi Kesadaran dan Keterlibatan Sosial) di almamater saya.

Sekadar gambaran saja, RKKS merupakan program yang dirancang sekolah untuk meningkatkan kesadaran dan kepekaan sosial dalam diri murid-muridnya. Teknisnya adalah selama 5 hari 4 malam mereka harus tinggal bersama keluarga-keluarga yang perlu kerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, atau ditempatkan bersama pekerja (buruh), atau ditempatkan pada panti sosial (panti asuhan, panti jompo, dsb.)

Setelah 5 hari mengalami RKKS, para murid kembali berkumpul di sekolah untuk mengadakan refleksi, agar pengalaman berharga itu tidak hilang begitu saja.

3 tahun yang lalu saya sempat RKKS juga, namun ada satu hal yang tidak terekam dengan baik dalam memori saya, yaitu saat sesi Renungan Kebangsaan. Sesi ini merupakan rangkaian dari acara refleksi RKKS, ditempatkan di akhir refleksi. Terus terang, hal menarik dari Renungan Kebangsaan ini baru saya dapatkan ketika saya sudah menjadi alumnus dan mendampingi refleksi ini.

Kebetulan saya beberapa kali “terpaksa” melahap ilmu-ilmu sosial, terutama yang bertemakan gerakan perlawanan, revolutif, yang seringkali diidentikkan dengan istilah-istilah lain berbau “kiri”. Dengan bekal seperti itu saya tersentak ketika membaca beberapa tulisan dalam teks Renungan Kebangsaan.

Renungan Kebangsaan diawali dengan bersama-sama menyanyikan lagu dengan syair sebagai berikut:

Indonesia tanah air siapa
Katanya tanah air kita
Indonesia sejak empat lima
Janjinya rakyat sejahtera
Nyatanya hatiku bertanya
Petani digusur sawahnya
Buruh-buruh miskin dan sengsara
Korupsi ada di mana-mana

(gubahan dari lagu asli “Indonesia Pusaka” oleh Harry Roesli)


Adakah yang menarik dari teks di atas?

Teks kedua yang hendak saya tuliskan adalah sebuah syair (entah karangan siapa) yang tertera dan dibacakan oleh seorang alumnus.

KENAPA INDONESIA HARUS MERDEKA?

Kenapa Indonesia harus merdeka?
Apakah supaya dengan kemerdekaan itu banyak sawah bisa digusur untuk pembangunan perumahan mewah dan para petaninya hidup sengsara dalam himpitan harga pupuk dan kebutuhan pokok yang melambung tinggi.

Kenapa Indonesia harus merdeka?
Apakah supaya dengan kemerdekaan itu buruh-buruh hidup dalam garis kemiskinan sedangkan para pemilik modal mengeruk keuntungan berlipat ganda tanpa memikirkan kesejahteraannya?

Kenapa Indonesia harus merdeka?
Apakah supaya dengan kemerdekaannya itu bisa didirikan sekolah-sekolah dan universitas-universitas yang kian tahun kian mahal biayanya, namun tidak mampu mendidik generasi muda menjadi generasi yang mandiri dan kreatif? Apakah lembaga pendidikan didirikan supaya generasi muda hanya mampu menjadi pelayan-pelayan dan budak-budak yang patuh dan pro kekuatan modal asing? Apakah universitas-universitas dibangun supaya generasi muda menjadi kelas terdidik yang bermental elit, sehingga tidak paham akan kebutuhan rakyat dan negaranya?

Kenapa Indonesia harus merdeka?
Apakah supaya dengan kemerdekaan itu bisa ditebangi hutan-hutannya sampai gundul, hingga hanya tersisa bencana bagi rakyatnya? Apakah supaya dengan kemerdekaan itu bisa dicuri kekayaan alamnya; airnya, emasnya, tembaganya, minyaknya, batu baranya, hasil lautnya, pasir laut dan pasir gunungnya, sehingga habis tanpa sisa selain kemiskinan dan keterbelakangan bagi rakyatnya?

Kenapa Indonesia harus merdeka?
Apakah supaya dengan kemerdekaan itu bisa diambil oleh negara tetangga pulau-pulaunya, garis pantainya, kebudayaannya?

Kenapa Indonesia harus merdeka?
Apakah supaya dengan kemerdekaan itu bisa didirikan di mall-mall yang maha besar di kota-kota dan swalayan modern di desa-desa, sehingga mematikan pasar tradisional yang menjadi nadi ekonomi rakyat? Apakah supaya dengan kemerdekaan itu bisa dibentuk masyarakat yang konsumtif, hedonis, dan materialis? Masyarakat yang selalu mengikuti gaya hidup, tergila-gila dengan trend dan arus hura-hura?

Apakah supaya dengan kemerdekaan itu para penguasa mudah memupuk kekayaannya dengan korupsi dan kolusinya? Apakah supaya kebal hukum bila saatnya menjadi terpidana? Apakah supaya dengan kemerdekaan itu bisa tidur nyenyak atau baca koran ketika sidang soal rakyat? Apakah supaya mereka lupa pada janji prasetyanya untuk mengabdi pada rakyat?

Apakah supaya dengan kemerdekaan itu para perempuan biasa dijual sebagai tenaga kerja, pulang dengan bilur luka karena penyiksaan majikannya? Apakah supaya dengan kemerdekaan itu kekerasan bisa dan boleh dilakukan hingga saat ini?

Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Adakah yang menarik dari teks di atas?

Menjelang penutupan renungan, panitia memperdengarkan lagu dari Iwan Fals, berjudul Kebaya Merah. Ini lirik lagunya:

KEBAYA MERAH

Kebaya merah kau kenakan
Anggun walau nampak kusam
Kerudung putih terurai
Ujung yang koyak tak kurangi cintaku

Wajahmu seperti menyimpan duka
Padahal kursimu dilapisi beludru
Ada apakah, ibu?

Kitalah seperti dulu
Duka suka yang terasa
Percaya pada anakmu
Tak terfikir tuk tinggalkan dirimu

Ibuku, darahku, tanah airku
Tak rela kulihat kau seperti itu
Ada apakah, ibu?

Adakah yang menarik dari teks di atas?

Dulu ketika saya mengalami hal yang sama, mungkin saya akan menjawab pertanyaan yang tiga kali saya tuliskan: tidak. Namun sekarang setelah dibekali oleh pandangan-pandangan ilmu sosial, saya baru menyadari ada suatu cita-cita dan maksud di balik Renungan Kebangsaan ini.

Baiklah, coba saya sebutkan kata-kata kunci untuk konsep pertama: buruh, petani, tenaga kerja, miskin, sengsara, tertindas, pemilik modal, keuntungan, elite, modal asing, konsumtif, hedonis, materialis.

Sudah sangat gamblang dan jelas saya tunjukkan kata-kata kunci untuk konsep pertama, Anda pasti mampu melihat benang merah di antara kata-kata itu.

Kata-kata kunci untuk konsep kedua: kebaya merah, kerudung putih. Dan lagi-lagi saya dengan sangat jelas menuliskan kata-kata, yang dengan mudah pula dapat Anda tarik benang merahnya.

Sekarang pertanyaannya, dapatkah kedua konsep tadi dihubungkan?

Saya mencoba menghubungkan dan samar-samar sudah saya lihat. Saya melihat, lagi-lagi dengan samar, untuk apa kami sekolah di tempat ini. Untuk apa ada Renungan Kebangsaan, RKKS, Wawasan Kebangsaan, aturan-aturan asrama, dsb. Untuk apa harus memiliki masa SMA yang berbeda dengan teman-teman kebanyakan, untuk apa harus mendengarkan celotehan orang-orang tertindas yang bertemu dengan kami.

Tentu, saya tidak menganggap garis samar tersebut sebagai sebuah kebenaran, apalagi kebenaran mutlak. Yang jelas saya tersadar akan sesuatu melalui garis pemikiran yang saya susun tadi, dan belum terlambat untuk memulai sesuatu.

Terimakasih Rm. van Lith, terimakasih teman-teman, terimakasih sudah menemani di lereng Merapi. Terimakasih juga karena Anda sudah memaksa saya untuk menulis: “Kemarin saya berpikir bahwa selama 20 tahun ini saya masih hijau. Namun hari ini saya tersadar, bahkan berusaha untuk menjadi hijau pun belum pernah saya lakukan.”

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain